"Putusan Pengadilan Telah Berkekuatan Hukum Tetap"
Sepenggal
kalimat diatas terlihat simpel namun kadang-kadang membuat banyak
penafsiran di antara beberapa akademisi, praktisi hukum, pakar hukum
maupun pengamat hukum . Akibat dari banyaknya penafsiran tersebut maka
salah satu dari visi pemerintah dibidang hukum yaitu "Masyarakat
Memperoleh Kepastian Hukum" menjadi kabur. Baru-baru ini telah muncul
suatu regulasi baru yang menggunakan sepenggal kalimat diatas sebagai
inti / patokan.
Untuk
menyusutkan arti dari penafsiran kalimat diatas maka penulis mencoba
mengangkat dasar hukum bersumber dari sebagian literatur yang penulis
dapat. Jadi sebenarnya apa makna dan kapan "Putusan Pengadilan Telah
Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap" dan "Apakah
suatu putusan yang dimintakan peninjauan kembali masih belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap?"...........................
Menurut perkaranya putusan pengadilan terbagi dua yatu
- Putusan Perkara Pidana, dan
- Putusan Perkara Perdata
I. Putusan Perkara Pidana
Di dalam peraturan
perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan
perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
- Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
- Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
- Putusan kasasi.
Jadi, berdasarkan penjelasan
sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
- Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
- Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
- Putusan kasasi
Bagaimana jika putusan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)?
Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini
kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding,
Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut :
“Selama
putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak
dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya
hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru
terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup.
Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan
kasasi.”
Berdasarkan pendapat Yahya
Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan
kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan
untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi.
Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari
putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).
Pengaturan secara umum upaya
hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP.
Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP).
Permintaan peninjauan kembali
dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):
- Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
- Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain ;
- Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
II. Putusan Perkara Perdata
Menurut Retnowulan Sutantio
dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali dalam perkara
perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(“UU MA”).
Putusan perkara perdata yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan
sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
- Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
- Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
- Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
- Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
- Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Sayangnya, di dalam UU
MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal
195 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di
Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam perkara perdata oleh
karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak
lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang
untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang
sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang
dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya
Dalam hal ini tidak ada
jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan
perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu
harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti,
artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau
tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan
dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.
Berdasarkan penjelasan Pasal
195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan
hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
Grasi.
Seperti halnya dengan perkara
pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak
menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA).
Baik putusan perkara pidana
maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan kembali keduanya diajukan
kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat
pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA).
Jadi suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap
yang diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki
kekuatan hukum tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.
Demikian uraian dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
- Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi