Jumat, 22 November 2013

KAPAN PUTUSAN PENGADILAN DINYATAKAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP ?

 


"Putusan Pengadilan Telah Berkekuatan Hukum Tetap"

Sepenggal kalimat diatas terlihat simpel namun kadang-kadang membuat banyak penafsiran di antara beberapa akademisi, praktisi hukum, pakar hukum maupun pengamat hukum . Akibat dari banyaknya penafsiran tersebut maka salah satu dari visi pemerintah dibidang hukum yaitu "Masyarakat Memperoleh Kepastian Hukum" menjadi kabur. Baru-baru ini telah muncul suatu regulasi baru yang menggunakan sepenggal kalimat diatas sebagai inti / patokan. 

Untuk menyusutkan arti dari penafsiran kalimat diatas maka penulis mencoba mengangkat dasar hukum bersumber dari sebagian literatur yang penulis dapat. Jadi sebenarnya apa makna  dan kapan "Putusan Pengadilan Telah Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap" dan "Apakah suatu putusan yang dimintakan peninjauan kembali masih belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap?"...........................

Menurut perkaranya putusan pengadilan terbagi dua yatu 
  1. Putusan Perkara Pidana, dan 
  2. Putusan Perkara Perdata  


I.         Putusan Perkara Pidana
 
Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan  oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
  3. Putusan kasasi.
Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
  3. Putusan kasasi

Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut :

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). 

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):
  1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
  2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain ;
  3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

II.      Putusan Perkara Perdata

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali dalam perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Sayangnya, di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.

Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA).

Baik putusan perkara pidana maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan kembali keduanya diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA).

Jadi suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.

Demikian uraian dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
  1. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941 
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
  4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Rabu, 02 Oktober 2013

DAFTAR NOTARIS DI SULAWESI BARAT



DAFTAR NOTARIS DI SULAWESI BARAT

KABUPATEN   MAMUJU UTARA
1.     MARWANI, SH., M.Kn.
NO. SK :  AHU-0176. AH. 02.01-TAHUN 2010
KABUPATEN   MAMUJU
1.      SARAH ELITA TIMBANG, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 37. AH. 02.01-TAHUN 2009
2.     H. HAMZAH, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 0468. AH. 02.01-TAHUN 2008
3.     RASNY RESANYA ARIFUDDIN, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 0059. AH. 02.01-TAHUN 2010
4.     MINTA JAYA GINTING, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 222. AH. 02.01-TAHUN 2009
5.     NURAENI, SH.M.Kn.
NO. SK : C.399.HT.03.01-TAHUN 2006
6.     DEWI ASTRIYANA UTINA, SH.M.Kn.
NO. SK : C.556.HT.03.01-TAHUN 2007
7.     ANDI HAERIL SUMANGE, SH.M.Kn.
NO. SK : C.772.HT.03.01-TAHUN 2004
8.     SUSI UA’ SARURAN, SH.
NO. SK : C.1202.HT.03.01-TAHUN 2002
9.     MAHMUD, SH.SS.,M.Kn.
NO. SK : AHU. 0187. AH. 02.01-TAHUN 2010
10.  IRAWATI, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.1022. AH. 02.01-TAHUN 2010
11.  LIONG, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.1055. AH. 02.01-TAHUN 2010
12.  AZIZAH TASMAN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.1085. AH. 02.01-TAHUN 2010
13.  ABU AFIEF WARIS, SH.,SpN.
NO. SK : C.397.HT.03.01-TAHUN 2007
14.  KHADIJAH CHANDRA MUSTAFA, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.228. AH. 02.01-TAHUN 2009
15.  ARLAN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.062. AH. 02.01-TAHUN 2012
16.   HAERUL, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.063. AH. 02.01-TAHUN 2012
17.   NOVELISA ZAINUDDIN CHAIRAN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.501. AH. 02.01-TAHUN 2011
18.  MUHAMMAD RIDWAN AMBARALA, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.473. AH. 02.01-TAHUN 2011
19.  DARMIAH HUSAIN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.202. AH. 02.01-TAHUN 2011

KABUPATEN  MAJENE
1.   CICI HARFIAH, SH.,M.Kn.
NO. SK : C.190.HT.03.01-TAHUN 2007
2.   NURHIDAYAH, SH.
NO. SK : C.293.HT.03.01-TAHUN 2003

KABUPATEN  POLEWALI MANDAR
1.   SYARIEF RAHMAT TASMAN, SH.
NO. SK : C.591.HT.03.01-TAHUN 2004
2.   NUR MUKARRAMA, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.391. AH. 02.01-TAHUN 2009
3.   DARUL ADAM, SH.
NO. SK : C.517.HT.03.01-TAHUN 2002
4.   NURRAHMAH TAHANUDDIN, SH.
NO. SK : C.1589.HT.03.01-TAHUN 2002
5.   TJIUNAR HAERUL EKKA, SH.
NO. SK : C.616.HT.03.01-TAHUN 2004
6.   HENDRA SAPUTRA SUDIN, SH.
NO. SK : AHU.360. AH. 02.01-TAHUN 2013
7.   HETRAMELDA, SH., M.Kn.
NO. SK : AHU.164. AH. 02.01-TAHUN 2013

KABUPATEN  MAMASA
1.       MIRA FABIOLA, SH., M.Kn.
NO. SK : AHU-0089.AH.02.01-TAHUN 2010

Rabu, 30 Januari 2013

PERBANDINGAN PEMBERIAN REMISI, ASIMILASI, CMK, CMB DAN PB BAGI NARAPIDANA KHUSUS SESUAI DENGAN PP NOMOR 32 TAHUN 1999, PP NOMOR 28 TAHUN 2006 DAN PP NOMOR 99 TAHUN 2012

Dengan alasan bahwa kejahatan yang dilakukannya merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat, dan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Pemerintah resmi memperketat pemberian hak remisi, asimilasi dan bebas bersyarat bagi narapidana (Napi) tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional lainnya.
Ketentuan yang memperketat pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat bagi Napi tindak pidana terorisme, korupsi, Narkoba (termasuk di dalamnya narkotika dan prekursor narkotika, dan psikotropika) kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisir lainnya itu tertuang dalam Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 November 2012 lalu.
PP No. 99/2012 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini, hanya merubah ketentuan Pasal 34 tentang tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi , Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan Pasal 43 tentang Pembebasan Bersyarat.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 beserta perbandingannya dengan Peraturan Sebelumnya, silakan diunduh di Perbandingan PP Nomor 32/1999, PP Nomor 28/2006 dan PP Nomor 99/2012