Senin, 16 September 2013

ASAS-ASAS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
 
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama.
Maka ada beberapa asas peraturan perundang-undangan yang kita kenal, diantaranya:
1. Asas lex superior derogat legi inferior ;
2. Asas lex specialis derogat legi generalis ;
3. Asas lex posterior derogat legi priori ;
4. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif) / Asas Legalitas

maka dalam bagian ini penulis ingin menjelaskan tentang azas yang pertama yang dikenal juga dengan azas hirarki

Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan UU No.12 Tahun 2011 adalah ; ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). 
*) Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:   

  1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
  2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
  3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan..

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.  Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.


Asas Legalitas
Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu:
  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Contoh yang berkenaan dengan Asas Legalitas: Keadilan bagi korban salah tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun, fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban salah tangkap.
Kasus yang bertentangan dengan asas legalitas: putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1982 tanggal Desember 1983, dalam perkara korupsi Bank Bumi Daya dengan terdakwa direktur Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa. Terdakwa ternyata melakukan penyelewengan kewenangan dengan memberikan prioritas kredit kepada PT. Jawa Building, bergerak dibidang real estate, yang mana dilarang oleh BI berdasarkan surat edaran No. SE 6/22/UPK, tertanggal 30 juli 1983. Terdakwa ternyata menerima fasilitas yang berlebihan dan keuntungan lain dari pemberian kredit tersebut dari A Tjai alias Endang Wijaya.
Dalam kasus ini MA menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum secara materiil dalam fungsi positif dalam putusannya No. 275 K/Pid/1982. Dalam putusan ini MA menyatakan bahwa “jika penyalahgunaan wewenang hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat”. Artinya walaupun tindakan penyelewengan tersebut tidak memenuhi rumusan delik namun bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, perbuatan penyelewengan ini dapat dijatuhi pidana.
Walau pada dasarnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ini bertentangan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di masyarakat MA memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus ini termasuk dalam tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang tertulis yang di sahkan oleh pejabat yang berwenang namun hukum itu juga merupakan perilaku yang berkembang di masyarakat. Karena keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan.
Kasus lain yang bertentangan dengan asas legalitas: tindakan Menteri Hukum dan HAM Amir Samsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menunda penundaan permohonan bebas bersyarat Paskah Suzetta melanggar hukum. Apa yang dilakukan Amir dan Denny adalah jelas-jelas melanggar hukum, dan tidak sepatutnya dilakukan dalam sebuah negara hukum negara hukum menjunjung tinggi asas legalitas: tidak ada tindakan dari aparatur negara boleh dilakukan bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
Kasus yang baru-baru ini bertentangan dengan asas legalitas : kakus prita mulyasari.  Aparat penegak hukum membidik Prita dengan pasal 27 mengenai pencemaran nama dalam UU ITE yang ancaman maksimum penjara selama 6 tahun. Pasal ini, walaupun oleh MK telah dinyatakan bersifat konstitusional, tetap saja ketentuan ini tidaklah diperlukan karena pengaturan mengenai pencemaran nama sudah diatur dalam banyak pasal di KUHP. Adanya Pengaturan pasal ini bagi penulis bersifat over-kriminalisasi, karena memang substansinya telah diatur secara jelas dalam KUHP. 
Sepertinya pembuat Undang-Undang perlu memperhatikan bahwa dalam tataran teoritik, pengaturan di luar KUHP baru dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam KUHP yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut benar-benar kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam KUHP. Jika ada ketentuan genus-nya dalam KUHP maka cukup dilakukan dengan cara mengamandemen KUHP. Perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah mengatur substansi hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana sendiri yang berbeda dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan umum hukum pidana nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam mengembangkan hukum pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas.