Minggu, 19 Februari 2012

Dunia Pemasyarakatan Yang Carut Marut......Reformasi Birokrasi, mungkinkah...????



Reformasi birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap birokrasi pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan (organisasi),  ketatalaksanaan (business proces), dan aspek sumber daya manusia aparatur. Sesuai dengan kebijakan pemerintah, maka dalam rangka mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik dipandang perlu melakukan reformasi birokrasi di seluruh jajaran Pemasyarakatan baik tingkat pusat, wilayah maupun tingkat unit pelaksana teknis.
Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan bertujuan untuk membangun/membentuk postur dan perilaku petugas Pemasyarakatan dengan :
  1. Integritas tinggi, yaitu perilaku petugas pemasyarakatan yang senantiasa menjaga sikap profesional dan menjungjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran, kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi;
  2. Produktifitas tinggi dan bertanggungjawab, yaitu hasil optimal yang dicapai oleh petugas pemasyarakatan dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif dan efesien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi;
  3. Kemampuan memberikan layanan yang prima, yaitu kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi pemasyarakatan yang profesional, berdedikasi dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, utamanya dalam memberikan pelayanan yang prima kepada publik dengan sepenuh hati dan rasa tanggungjawab.

Visi dari Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan adalah TERCIPTANYA TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK TAHUN 2025.

Sedangkan misi dari Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan adalah :
1.       Membentuk dan atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola pemasyarakatan yang baik.
2.       Memodernisasi birokrasi pemasyarakatan dengan optimalisasi pemakaian teknologi informasi dan komunikasi.
3.       Mengembangkan budaya, nilai kerja dan perilaku yang positif.
4.       Mengadakan retrukturisasi organisasi (kelembagan) pemasyarakatan.
5.       Mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk perbaikan sistem remunerasi.
6.       Menyederhanakan sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja.
7.       Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.
Langkah strategis untuk mencapai visi dan misi tersebut adalah dengan mengelola perubahan atau melakukan manajemen perubahan yang pada prinsipnya adalah untuk memperoleh pemahaman yang sama dan mengurangi resistensi dari dari pegawai serta memastikan partisipasi pegawai dan masyarakat umum dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.


KONDISI PEMASYARAKATAN SAAT INI

Perubahan yang diharapkan dari proses Reformasi Birokrasi pemasyarakatan bertitik tolak dari kondisi yang ada saat ini. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah menyusun Cetak Biru Pembaharuan pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan Secara umum kondisi pemasyarakatan saat ini dapat digambarkan dalam bahasan sebagai berikut :

1.       ASPEK KEPEMIMPINAN
Mengingat kedudukannya yang sangat penting, maka seorang pemimpin di lingkungan Pemasyarakatan harus memiliki jiwa kepemimpinan birokrasi yang profesional, mampu menggerakkan dan memotivasi bawahan dalam rangka mencapai tugas yang diemban di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan baik di tingkat Pusat, Wilayah maupun Daerah. Pemimpin pada jajaran Pemasyarakatan harus mampu mengemban perannya sebagai mediator, pembina bawahan, negosiator, juru bicara, diseminasi informasi, dan pengambil keputusan.
Namum demikian peranan tersebut belum mampu diwujudkan oleh pemimpin di jajaran Pemasyarakatan pada semua tingkatan baik di pusat maupun daerah. Belum terwujudnya peranan pemimpin di jajaran pemasyarakatan tersebut disebabkan karena masih rendahnya kompetensi, kinerja dan visi serta misi sebagai pimpinan.

2.        ASPEK KELEMBAGAAN
A.       Struktur Organisasi.
1). Struktur Organisasi Pemasyarakatan dalam Hubungannya dengan Perangkat Organisasi Lainnya di Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam garis birokrasi struktural Kementerian Hukum dan HAM, Kepala UPT Pas secara administratif bertanggung jawab kepada Kepala Kanwil, sementara Kepala Kanwil bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Sistem ini disebut dengan sistem integrated.  Posisi Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan berada di bawah organisasi kementerian dan bertanggung jawab kepada Menteri. Sedangkan Kepala Divisi Pas bertanggung jawab kepada Kepala Kanwil. Tidak ada garis struktural secara langsung antara Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan dan Kepala UPT Pas. Hubungan antara ketiganya hanya bersifat teknis fungsional.
Pola ini memperlihatkan dualisme tata hubungan dalam tatanan struktural dan teknis organisasi. Pola ini menjadi faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam kinerja Sistem Pemasyarakatan, karena tidak adanya kesatuan kerja yang baik meskipun sistem tersebut dikatakan integrated.
Dengan sistem integrated, bidang-bidang yang memainkan peran administratif-fasilitatif lebih dominan ketimbang bidang-bidang yang memainkan peran teknis-substantif.

2).     Organisasi Dan Tata Kerja dalam Melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsi.
a).     Tujuan Organisasi.
Kesenjangan dalam mengartikulasikan tujuan organisasi pemasyarakatan baik di tingkat pusat, wilayah maupun di tingkat UPT, mengakibatkan tidak sejalannya program kerja dengan visi dan misi organisasi pemasyarakatan.  Sebagai contoh : di beberapa unit pelaksana teknis, tujuan organisasi pemasyarakatan bisa dijalankan dengan sangat baik, namun tidak sedikit visi dan misi serta tujuan organisasi tersebut di tempat lain terlihat sangat kurang.
b).     Ketidaksesuaian Tipe Organisasi dan Struktur dengan Kebutuhan serta Efektifitas Organisasi.
-      Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan).
Pola struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan disusun  menggunakan pendekatan proses, dan kurang konsisten dengan pola yang dirancang dalam organisasi Pemasyarakatan (quasi process). 
Keberadaan Direktorat Bina Khusus Narkotika menunjukkan bahwa pola yang disusun tidak lagi menggunakan pendekatan proses tetapi pendekatan bidang.  Pada sisi lain, tugas dan fungsi yang diemban oleh Direktorat ini tidak jauh berbeda dengan Direktorat Bina Perawatan, sehingga menjadi kurang efektif dan cenderung tumpang tindih. 
Kelemahan lainnya adalah kurang terakomodasinya bidang-bidang teknis seperti Bapas dan Rupbasan, sehingga berimbas pada kurang optimalnya dukungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi kedua bidang tersebut. 
Permasalahan lain yang cukup penting adalah kedudukan, peran dan fungsi Hubungan Masyarakat (Humas).  Direktorat Jenderal Pemasyarakatan seiring dengan keterbukaan informasi sebagai bagian dari pemenuhan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) harus mendasarkan pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. 
Minimnya upaya untuk mengembangkan informasi publik terhadap pemberitaan negatif, dan pencitraan publik terhadap kinerja organisasi pemasyarakatan, dapat dikatakan sebagai gagalnya peran dan fungsi kehumasan mengantisipasi hal tersebut.
Kegagalan ini disebabkan pula oleh belum terbangunnya strategi media yang efektif yang dilakukan oleh Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terutama dalam merespon segala hal yang berkembang di masyarakat dan di media yang terkait dengan pemasyarakatan.
-    Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Perubahan nomenklatur Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan  Pengentasan Anak (Bispa) menjadi Balai Pemasyarakatan (Bapas),  secara signifikan telah menghilangkan peran “Pengentasan Anak” sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi yang berkaitan dengan pembinaan dan pembimbingan anak menjadi kurang terselenggara dengan baik.
Pada saat yang sama, fokus tugas Bapas yang diemban oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) belum optimal dilaksanakan, seperti: melakukan penelitian kemasyarakatan, melaksanakan bimbingan, memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat, mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela; dan melaksanakan pengawasan.
-    Rumah Tahanan Negara (Rutan)
Salah satu bentuk pelayanan tahanan Rutan adalah pemberian bantuan hukum atau memberi kesempatan kepada tahanan untuk mendapatkan bantuan hukum dirasakan sangat kurang, yaitu belum adanya standard operasional prosedur (SOP) bantuan hukum; rendahnya kualitas sumber daya manusia dan belum adanya kualifikasi petugas pada seksi bantuan hukum. Permasalahan selanjutnya adalah belum adanya kerjasama antara Pemasyarakatan dengan asosiasi penasihat hukum (advokat, seperti Peradi atau asosiasi lain) untuk terlibat secara cuma-cuma (pro bono) untuk membantu tahanan yang tidak mampu (khususnya bagi yang diancam dengan hukuman 5 tahun ke atas); serta alokasi anggaran untuk bantuan hukum saat ini berada di Kanwil, bukan pada Rutan.
Kedudukan Kepala RUTAN (klas IIA dan IIB), dan Cabang RUTAN hanya eselon IV cenderung menghambat hubungan dengan  dalam tata pergaulan birokrasi pemerintahan dan penegak hukum lainnya; dan secara psikologis berpengaruh terhadap terhadap kinerja kepala Rutan/ Cabang Rutan.
Keberadaan Cabang Rutan Khusus pada Kejaksaan Agung, Polda, dan Brigade Mobil sesuai Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 secara hierarki tidak berada di bawah organisasi Rutan.  Akibatnya peran koordinatif antara Cabang Rutan khusus dengan RUTAN di daerah hukum yang sama kurang berjalan dengan baik. Petugas yang melaksanakan pelayanan tahanan di Cabang Rutan Khusus tersebut semuanya berisi personil dari kesatuan masing-masing, bukan Petugas Pemasyarakatan. 
-      Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan)
Kedudukan Rupbasan dalam lingkup kewenangan Kementerian Hukum dan HAM didasarkan atas pembagian kewenangan dan kontrol lintas penegak hukum dalam bekerjanya sistem peradilan pidana serta dalam konteks perlindungan hak asasi manusia. 
Permasalahan Rupbasan antara lain :
·         Belum adanya kelompok jabatan fungsional yang berperan dalam kerangka pengelolaan dan perawatan barang sitaan.
·         Kualitas petugas belum memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan terutama yang menyangkut pengujian dan penyimpanan serta perlakuan terhadap barang sitaan dan rampasan.
·         Organisasi dan tata kerja Rupbasan belum dipisahkan dengan organisasi dan tata kerja Rutan, padahal tugas dan fungsinya berbeda.
-   Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Dasar klasifikasi Lapas dibentuk berdasarkan kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja, sehingga di seluruh Indonesia ada 3 kelas Lapas yakni Kelas I, Kelas IIA dan Kelas IIB secara umum struktur organisasinya tidak ada yang berbeda. Di setiap kelas Lapas tersebut, terdapat bidang atau seksi yang menyelenggarakan kegiatan tata usaha, kegiatan pembinaan narapidana, penyelenggaraan kegiatan kerja, administrasi keamanan dan tata tertib serta satuan pengamanan. 
Pembidangan tersebut kurang dapat mencerminkan karakter kebutuhan masing-masing jenis dalam penyelenggaraan organisasi Lapas berdasarkan kualifikasi yang telah ditentukan. Struktur organisasi berdasarkan kelas tersebut pada akhirnya digunakan pula sebagai struktur dalam penyelenggaraan organisasi Lapas Anak, Wanita, Terbuka dan Lapas Narkotika.   
B. Tugas dan Fungsi.
Formulasi tugas dan fungsi Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan tercantum dalam ORTA Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Namun demikian tugas dan fungsi tersebut belum terjabarkan dalam uraian tugas yang jelas dan rinci. Sehingga aktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi cenderung tidak terpola, reaktif terhadap kebutuhan yang muncul saat itu, dan sangat tergantung pada kreatifitas pejabat yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada tugas dan fungsi Divisi Pemasyarakatan.
Pada tataran UPT Pemasyarakatan, tugas pokok dan fungsi telah dijabarkan dengan uraian tugas pada tiap-tiap unit kerja. Namun demikian belum terimplementasikan dalam bentuk SOP. Sehingga masalah yang muncul relatif sama dengan apa yang terjadi pada tataran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yaitu pelaksanaan tugas dan fungsi cenderung tidak terpola, reaktif terhadap kebutuhan yang muncul saat itu dan sangat tergantung pada kreatifitas pejabat yang bersangkutan, serta timbul perbedaan antara UPT yang satu dengan yang lain.

3.       ASPEK KETATALAKSANAAN
a.       Service Process.
Model pelayanan yang selama ini dilakukan oleh unit-unit kerja pada organisasi Pemasyarakatan, cenderung lebih besar pada penampilan birokratif, yaitu seolah-olah obyek pelayanan yang membutuhkan. Sikap petugas seolah-olah berada pada pihak yang dibutuhkan, dicari, dan diminta, serta yang memiliki kekuasaan. Kondisi ini memberikan kecenderungan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pemasyarakatan.

b.      Business Process.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemasyarakatan secara tepat, sangat diperlukan instrumen yang bersifat teknis untuk menggambarkan bagaimana suatu proses pekerjaan dilakukan. Instrumen tersebut dikenal dengan Standard Operating Procedure   (SOP).
Saat ini SOP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan belum sepenuhnya menyentuh seluruh aspek dalam manajemen Pemasyarakatan. SOP yang ada masih bersifat global, seperti sebuah pedoman umum yang belum mencerminkan rincian pelaksanaan tugas tiap unit kerja terkecil dari sebuah organisasi. Dokumen tersebut masih belum secara simpel dan komprehensif menampilkan siapa dan apa yang harus dilakukan, pada tahap mana apa yang harus dilaksanakan oleh masing-masing unit kerja.
Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan perlu menata ulang tatalaksana Pemasyarakatan agar sesuai dengan tujuan organisasi.

4.       ASPEK SUMBER DAYA MANUSIA
     a.  Perencanaan/Pengadaan Sumber Daya Manusia.
Pada dasarnya pengadaan pegawai dimaksudkan untuk mengisi formasi pada setiap unit kerja baik di tingkat pusat, wilayah maupun UPT Pemasyarakatan,  yang dilaksanakan melalui beberapa tahapan mulai tahap perencanaan, pengumuman, pelamaran, penyaringan, pengangkatan calon pegawai negeri sipil hingga diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Permasalahan timbul apabila data formasi pegawai Pemasyarakatan yang telah diusulkan berubah, sehingga tidak memenuhi kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan organisasi Pemasyarakatan.  Permasalahan lainnya  adalah bahwa rencana formasi pegawai pemasyarakatan tidak menggunakan analisis kebutuhan yang tepat sesuai dengan usulan oleh Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan.    
b.   Rekruitmen SDM.
Rekruitmen pegawai Pemasyarakatan saat ini secara terpusat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM yang pelaksanaanya dilakukan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM.   
Selama ini penyelenggaraan rekruitmen petugas Pemasyarakatan kurang memperhatikan karakteristik khusus yang harus dipenuhi, yaitu yang  berkenaan dengan fungsi yang diemban di setiap UPT : fungsi pelayanan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, pembinaan, serta fungsi pengelolaan. 
c.    Penempatan SDM.
Penempatan SDM pada unit-unit dan bidang kerja selama ini relatif tidak berdasarkan assesment yang ketat. Prinsip the right man on the right job menjadi terkesampingkan. Kondisi ini terjadi karena, penempatan SDM tidak didukung oleh basic keahlian dan kompetensi.
Sistem Diklat yang tidak didukung oleh kurikulum yang berbasis kebutuhan/keahlian juga memberi kontribusi kepada sulitnya menempatkan orang berdasarkan kompetensi. Pola senioritas dan unioritas juga turut berperan di dalamnya.
d.    Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan Pelatihan Petugas Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan HAM (BPSDM).
Struktur organisasi BPSDM dilakukan dengan pendekatan fungsi yang terbagi atas Pusat Pengembangan Kepemimpinan dan Manajemen, Pusat Pengembangan Teknis dan Pusat Pengembangan Fungsional dan HAM. Keseluruhan Pusat ini mengadakan pelatihan untuk seluruh unit utama di Kementerian Hukum dan HAM termasuk Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan. Dengan pendekatan fungsi ini kekhususan pengembangan SDM bidang Pemasyarakatan kurang terlaksana dengan baik. 
Perbaikan struktur penyelenggaraan Diklat juga harus diimbangi dengan penyempurnaan sistem penyelenggaraannya, mulai dari aspek seleksi peserta, perbaikan kurikulum, penyelenggara, pengajar/widyaiswara, metode pengajaran, sarana dan prasarana dan aspek-aspek lain pada umumnya.   
e.    Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP)
Pembinaan AKIP secara teknis akademik dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pembinaan teknis operasional dan secara organisatoris berada di bawah Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Hukum dan HAM. Permasalahan yang perlu dicermati, yaitu :
·       Kedudukan Direktur AKIP yang statusnya eselon III langsung bertanggungjawab kepada Kepala Badan yang statusnya eselon I. 
       Dalam struktur organisasi BPSDM ada struktur “Pusat” yang dijabat oleh yang berstatus eselon II.  Dalam konsepsi ideal apabila penataan ‘Pusat” di BPSDM dilakukan dengan pendekatan per/bidang maka akan ada yang disebut “Pusat Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemasyarakatan”.   Dengan sistem ini, tanggungjawab Direktur AKIP langsung ditujukan kepada Kepala Pusat yang eselon II dan masuk dalam satu genus yakni Pemasyarakatan.  Status kepegawaian di Pusat Pendidikan dan Pengembangan SDM Pemasyarakatan tunduk pada status Kepagawaian Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan, tidak di bawah BPSDM, sedangkan dukungan fasilitatif dan anggaran tetap dibawah BPSDM.
·          Keberadaan AKIP cenderung bias, apakah mengarah pada pendidikan profesional ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kualitas  sumber daya manusia Pemasyarakatan.
Berkenaan dengan permasalahan keberadaan AKIP, jika menyelenggarakan pendidikan yang profesional maka segala bentuk intervensi birokrasi kedinasan dikesampingkan. AKIP harus menjalankan seluruh kegiatan mulai dari rekruitmen hingga pelaksanaan penyerahan kelulusan taruna secara mandiri. 
Secara kelembagaan, sudah saatnya AKIP dijadikan Sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan (seperti : IPDN pada Kementerian Dalam Negeri atau STAN pada Kementerian Keuangan).
 
f.    Pengembangan dan Pola Karir
Pembinaan karier dalam penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.  Pembinaan karier bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pola Karier yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukan keterkaitan dan keserasian antara Jabatan, Pangkat, Pendidikan, Pelatihan Jabatan, serta Masa Jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu hingga pensiun.
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.KP.01.05 Tahun 1994 Tanggal 8 Pebruari 1994 tentang Pola Penjenjangan Karier Pejabat Pemasyarakatan Kementerian Kehakiman menyebutkan Persyaratan dan unsur pendukung pada setiap jenjang adalah : Kemampuan dan prestasi kerja, Pendidikan, kursus atau latihan; Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), Senioritas, Kesehatan, Penilaian dan Pertimbangan khusus dari Menteri.
Meskipun aturan pola karier sudah sangat lengkap, kondisi ketidaktertiban pelaksanaan pembinaan karier petugas Pemasyarakatan masih terjadi, yaitu adanya indikasi kolusi/nepotisme dan upaya pendekatan dengan pejabat di Kanwil, di Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan dan di Sekjen agar mendapatkan jabatan yang diinginkan. Kondisi ini berpengaruh terhadap etos dan semangat kerja pegawai lain yang mengandalkan pada proses keterbukaan dan objektif  serta akuntabilitas penilaian kinerja.
g.   Jabatan Fungsional Penegak Hukum bagi Petugas Pemasyarakatan
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa petugas pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.
Sebagai penegak hukum, kedudukan petugas pemasyarakatan sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim. Permasalahannya jabatan fungsional penegak hukum tersebut hanya sebatas pengaturan tetapi tidak diimplementasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM. 
Apabila mencermati Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri  dan  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, petugas Pemasyarakatan sebetulnya telah memenuhi kualifikasi sebagai pejabat fungsional. 
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya petugas pemasyarakatan dapat dikategorikan dalan dua jabatan fungsional yakni jabatan fungsional keahlian (yang menjalankan fungsi Pelayanan Pembimbingan dan Pembinaan Pemasyarakatan, serta Perawatan) dan jabatan fungsional ketrampilan (yang menjalankan tugas dan fungsi Pengamanan dan Perawatan).
h.   Pengawasan; Reward and Punishment
Hal penting yang perlu ditekankan terkait dengan tindakan disiplin dan tindakan hukuman administratif sebagai salah satu hasil dari pengawasan melekat dan fungsional adalah mengenai tindak lanjut pengawasan baik berupa saran dan perbaikan, apakah telah memadai dan memiliki efek positif dalam rangka peningkatan kinerja aparat yang bersangkutan, mengingat selama ini penyimpangan dan pelanggaran tetap saja terjadi tanpa ada perubahan berarti ke arah yang lebih baik.
Permasalahan inilah yang menjadi kecenderungan umum meskipun pada level regulasi sudah memberikan aturan yang cukup memadai, namun pada level pelaksanaan masih menyisakan berbagai kekurangan. Kecenderungan tersebut ditunjukkan dengan kurang terlihatnya perubahan ke arah peningkatan kinerja yang cukup signifikan. Termasuk proses keputusan penjatuhan tindakan hukuman disiplin dan administratif pada petugas yang terkesan lamban, sehingga terjadi ketidakpastian hukum.
Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan perlu membangun sistem dan menetapkan SOP pengawasan yang memuat indikator penilaian tentang perilaku dan kode etik bagi para petugas pemasyarakatan termasuk mekanisme pemberian reward and punishment,
                 
5.       PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN UNTUK MENUNJANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI PEMASYARAKATAN
Proses perencanaan dan penganggaran memainkan peranan yang sangat penting, apalagi dengan dikembangkannya sistem perencanan dan penganggaran yang berbasis program. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, semakin mengukuhkan perencanaan program dan penganggaran sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.       
Dengan perubahan yang menuntut penganggaran berbasis program, maka pengajuan anggaran hingga pada unit pelaksana teknis mensyaratkan dokumen-dokumen Rencana Strategis Kementerian dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga.
Dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai dokumen kebijakan pembangunan jangka menengah hal yang dirasakan menonjol adalah tidak adanya mata rantai yang mengikat di antara dokumen perencanaan pembangunan tingkat Kementerian–Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan dokumen perencanaan pada tataran UPT.  Dalam konteks ini aspirasi pemasyarakatan dirasakan belum terwakili secara memadai dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian dan Perencanaan program kerja Kementerian. 
Mekanisme penyampaian Rencana Kerja dan Anggaran (RKAKL) yang diusulkan dari Kantor Wilayah dan UPT Pemasyarakatan belum terintegrasi secara optimal. Rencana Kerja dan Anggaran dari Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan disampaikan kepada Kantor Wilayah Kementerian Kehakiman dan HAM yang kemudian dihimpun dan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal dan tembusannya seringkali tidak disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Meskipun telah dikirimkan sebagai tembusan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sering tidak dilengkapi dengan data pendukung yang memadai. Kondisi ini menyebabkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengalami kesulitan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan teknis substantif menyangkut skala prioritas usulan-usulan program yang diajukan dan dapat berimplikasi terhadap penentuan pagu indikatif. 
Hampir semua proses perencanaan dan penganggaran yang dilaksanakan hanya didasarkan pada segi-segi pemenuhan persyaratan administrasi dan formalisme semata. Peran Bagian Penyusunan Program dan Laporan pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak maksimal untuk merumuskan kebijakan-kebijakan dan prioritas program dikarenakan kendala kurang adanya dukungan dari tingkat Kantor Wilayah dan Unit Pelaksana Teknis yang tidak memadai dalam memberikan laporan/ tembusan dokumen dan data pendukung. Hambatan tersebut tentunya memiliki implikasi  pembahasan-pembahasan dalam penentuan skala prioritas program dan pagu indikatif anggaran bagi Pemasyarakatan secara umum.   
Pada tingkat wilayah, Kepala Divisi Pemasyarakatan tidak memiliki peran dalam proses perencanaan dan penganggaran, padahal fungsi Kepala Divisi Pemasyarakatan dalam menjalankan misi pemasyarakatan sangat penting yakni melakukan pembinaan dan bimbingan teknis di bidang Pemasyarakatan, pengkoordinasian pelaksanaan teknis di bidang Pemasyarakatan, serta pengawasan dan pengendalian pelaksanaan teknis di bidang Pemasyarakatan. Tentunya proses perencanaan dan penganggaran selama ini yang hanya terfokus ada Kepala Divisi Admisnitrasi akan kurang optimal terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Pemasyarakatan. 
                  Pada tingkat pelaksanaan program kerja, terdapat permasalahan yang terkait dengan tata laksana mengenai pengadaan barang dan jasa di tingkat UPT.

6.       ASPEK POLA HUBUNGAN KERJA
a.       Hubungan dengan Lembaga Penegak Hukum Lain.
Fenomena over kapasitas diberbagai UPT Pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan), merupakan salah satu gejala nyata tidak adanya sinergitas dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. Sebagai contoh adalah proses hukum terhadap tindak pidana narkotika dan obat terlarang yang semakin menunjukkan kecenderungan angka yang meningkat secara signifikan divonis pidana penjara. Padahal perlu dipahami bahwa tidak semua terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang harus dipidana dengan hukuman penjara. Pemilahan terhadap pelaku tindak pidana dengan dasar pertimbangan tertentu (misalnya ; anak-anak atau status sebagai pengguna narkotika dan obat terlarang) tidak dilakukan, padahal pihak yang terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan mengetahui permasalahan-permasalahan kelebihan kapasitas yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.
UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang eksistensinya diatur dalam PP Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP sebagai lembaga yang memiliki kewenangan atas penyimpanaan benda sitaan dan rampasan. Dimana melalui Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06.Tahun 1983 telah dijabarkan mengani pengelolaan benda sitaan dan rampasan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang kemudian dijabarkan lagi dalam petunjuk Teknisnya melalui Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002.  Dalam hal kerjasama antar negara, terkait dengan fungsi UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dinyatakan pada Pasal 45 ayat (1) sebagai lembaga yang berwenang untuk menyimpan barang, benda, atau harta kekayaan sitaan hasil dari tindak pidana yang berdimensi lintas negara.  Dalam praktiknya banyak ditemukan permasalahan bahwa penyimpanan benda sitaan dan rampasan dalam proses pidana tidak diserahkan atau setidaknya dilaporkan/ informasikan kepada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.  Kondisi ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum lainnya khususnya ditingkat penyidikan dan penuntutan.  
Mengenai kedudukan Cabang Rumah Tahanan Negara di Kepolisian dan Kejaksaan saat ini masih kurang menempatkan Pemasyarakatan pada porsi kedudukannya yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pembinaan.  Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa semua Cabang Rumah Tahanan Negara adalah dibawah pengawasan dari Rumah Tahanan Negara mengingat pembentukan Cabang Rumah Tahanan Negara dibentuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Menteri.  Kedepan dengan penambahan dari segi jumlah Rumah Tahanan Negara selain diperlukan penguatan koordinasi dengan instansi Kepolisian dan Kejaksaan, secara bertahap diharapkan keberadaan Cabang Rumah Tahanan Negara diluar lingkungan Pemasyarakatan sudah tidak diperlukan lagi/ dihapuskan. 
Pada tingkatan UPT Lembaga Pemasyarakatan, kemacetan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat menunjukkan lemahnya koordinasi diantara Pemasyarakatan dengan Pengadilan.  Padahal bagian tersebut membawa semangat baru dalam konsep dan ruang operasionalisasi sistem peradilan pidana. Melalui berbagai peraturan dan petunjuk pelaksanaan tentang fungsi Hakim Wasmat, revitalisasi kelembagaan Hakim Pengawas dan Pengamat sangat penting untuk menjadi agenda perbaikan dan pembaruan bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu. 
Permasalahan adalah pada aspek teknis administrasi (administrasi peradilan pidana) yang diakibatkan adanya kekosongan maupun kekurangjelasan aturan dalam peraturan perundang-undangan dapat mempengaruhi  tugas-tugas Pemasyarakatan, seperti pembinaan dan pembimbingan. Hal tersebut dapat dipecahkan melalui kerjasama dan koordinasi seperti prosedural menyangkut upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana (grasi) terkait dengan pelaksanaan eksekusi mati.  
a.       Antara Unit Pelaksana Teknis.
1    1).  Rutan dengan Lapas
Pola hubungan dan koordinasi antara Rutan dengan Lapas terdekat berkenaan dengan penempatan dan mutasi tahanan yang telah mempunyai kekutan hukum tetap (narapidana) ke Lapas belum terjalin dan terlaksana dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku.
2).     Lapas Klas IIB dengan Lapas Klas IIA atau Lapas Klas I
Pola hubungan dan koordinasi antara Lapas Klas IIB dengan Lapas Klas IIA atau Lapas Klas I menyangkut penampatan dan mutasi narapidana berdasarkan lama pidana yang dijalaninya belum terlaksana dengan baik.
3).     Bapas dengan Rutan dan Lapas
Belum terlaksananya fungsi assistensi Pembimbing Kemasyarakatan Bapas guna mendukung keberhasilan proses pembinaan WBP mulai  dari tahap  awal (admisi orientasi) sampai tahap akhir pembinaan. Peran Bapas selama ini dilakukan secara pasif berdasarkan permintaan Lapas/Rutan untuk Pembutan Litmas (PB,CMB,CMK, asimilasi, perubahan pidana, mutasi), mengikuti sidang TPP Lapas/Rutan.
b.       Antara UPT dengan Kanwil (Kadivpas).
Keberadaan kadivpas (kanwil) masih diposisikan hanya sebagai pengawas UPT, belum secara utuh ditempatkan sesuai tupoksi yaitu peran pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pembimbingan. Fungsi pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pembimbingan kadivpas belum didasarkan pada pola yang baku dalam bentuk SOP. Oleh karena itu, tidak ada keseragaman tingkat dan pola hubungan antara UPT dengan Kadivpas (kanwil) yang satu dengan yang lain.
c.       Antara Kadivpas dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Tidak adanya pemaparan program teknis Renstra dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sehingga mempersulit Kadivpas untuk melaksanakan kebijakan.
Kadivpas hanya melaporkan secara berkala kegiatan pelaksanaan tupoksi UPT yang berada dalam pengawasan kadivpas tersebut dengan seijin kakanwil.
Fungsi Kadivpas yang lebih menonjol adalah memberikan arahan dan petunjuk kepada jajaran pemasyarakatan di wilayahnya.
d.      Antara UPT dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Tugas UPT Pemasyarakatan adalah melaksanakan kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan membuat laporan secara berkala melalui Kadivpas. Oleh karena tidak semua kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tersosialisasi dan dipahami sepenuhnya oleh UPT Pemasyarakatan, sehingga pelaksanaan tugas pada UPT Pemasyarakatan tidak terselenggara dengan baik sesuai dengan tujuan dan sasaran. Apalagi indikator kinerja sebagai tolok ukur keberhasilan belum tersusun secara baku.
e.       Antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Setjen/Kementerian Kumham.
Tugas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah melaksanakan kebijakan Setjen di bidang fasilitatif. Mengenai proses perencanaan penganggaran dan perencanaan SDM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuat usulan yang memuat kebutuhan perencanaan anggaran dan perencanaan SDM berdasarkan analisis kebutuhan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Namun untuk pengambilan keputusan tentang kebutuhan dimaksud ditetapkan oleh Setjen. Hal ini menjadi permasalahan dalam hal akomodasi kebutuhan.

7.       ASPEK BUDAYA ORGANISASI
a. Aspek Kinerja Organisasi
Secara organisatoris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM yang menganut Pendekatan Integrated System, hal ini tidak dapat mendukung kinerja organisasi. Ada dua hal penting yaitu :
1)             Capaian indikator kinerja yang tidak jelas     
       Apabila dilihat dari struktur organisasi sekarang, capaian indikator UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan bukan merupakan indikator kinerja Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan berada di bawah Kantor Wilayah yang bertanggungjawab kepada Sekjen. Namun jika ditinjau dari aspek tupoksinya UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan seharusnya merupakan pencerminan dari pada pelaksanaan tugas dan fungsi teknis Direktorat Jenderal  Pemasyarakatan.
3)             Garis komando yang tidak efektif. 
        Direktorat Jenderal Pemasyarakatan  tidak mempunya garis komando (pembinaan, pengawasan, dan pengendalian) secara langsung terhadap UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan secara struktural, Divisi Pemasyarakatan  dan UPT Pemasyarakatan  berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Sekjen melalui Kantor Wilayah.
      b. Aspek Kinerja Individu
Organisasi belum mempunyai instrumen yang tepat dan terukur untuk menilai kinerja individu (Petugas) Pemasyarakatan. Selama ini penilaian kinerja hanya didasarkan pada DP3 yang indikatornya tidak jelas dan tidak terukur.Indikator yang ada pada DP3 masih belum menyentuh kepada penilaian yang dibutuhkan terhadap kinerja individu. Hal demikian menimbulkan tidak dapatnya mengukur kinerja individu yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan reward dan punisment.