Reformasi birokrasi pada
hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar
terhadap birokrasi pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan (business
proces), dan aspek sumber daya manusia aparatur. Sesuai dengan kebijakan
pemerintah, maka dalam rangka mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan
yang baik dipandang perlu melakukan reformasi birokrasi di seluruh jajaran
Pemasyarakatan baik tingkat pusat, wilayah maupun tingkat unit pelaksana
teknis.
Reformasi Birokrasi
Pemasyarakatan bertujuan untuk membangun/membentuk postur dan perilaku petugas
Pemasyarakatan dengan :
- Integritas tinggi, yaitu perilaku petugas pemasyarakatan yang senantiasa menjaga sikap profesional dan menjungjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran, kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi;
- Produktifitas tinggi dan bertanggungjawab, yaitu hasil optimal yang dicapai oleh petugas pemasyarakatan dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif dan efesien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi;
- Kemampuan memberikan layanan yang prima, yaitu kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi pemasyarakatan yang profesional, berdedikasi dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, utamanya dalam memberikan pelayanan yang prima kepada publik dengan sepenuh hati dan rasa tanggungjawab.
Visi dari Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan adalah TERCIPTANYA TATA
KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK TAHUN 2025.
Sedangkan misi dari Reformasi
Birokrasi Pemasyarakatan adalah :
1. Membentuk dan atau menyempurnakan
peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola pemasyarakatan
yang baik.
2. Memodernisasi birokrasi
pemasyarakatan dengan optimalisasi pemakaian teknologi informasi dan
komunikasi.
3. Mengembangkan budaya, nilai kerja dan
perilaku yang positif.
4. Mengadakan retrukturisasi
organisasi (kelembagan) pemasyarakatan.
5. Mengadakan
relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk perbaikan
sistem remunerasi.
6. Menyederhanakan
sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja.
7. Mengembangkan
mekanisme kontrol yang efektif.
Langkah strategis untuk
mencapai visi dan misi tersebut adalah dengan mengelola perubahan atau
melakukan manajemen perubahan yang pada prinsipnya adalah untuk memperoleh
pemahaman yang sama dan mengurangi resistensi dari dari pegawai serta memastikan
partisipasi pegawai dan masyarakat umum dalam mewujudkan tata kepemerintahan
yang baik.
KONDISI PEMASYARAKATAN SAAT INI
Perubahan yang diharapkan dari proses Reformasi Birokrasi pemasyarakatan bertitik tolak dari kondisi yang ada saat ini. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah menyusun Cetak Biru Pembaharuan pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan Secara umum kondisi pemasyarakatan saat ini dapat digambarkan dalam bahasan sebagai berikut :
1. ASPEK KEPEMIMPINAN
Mengingat
kedudukannya yang sangat penting, maka seorang pemimpin di lingkungan
Pemasyarakatan harus memiliki jiwa kepemimpinan birokrasi yang profesional,
mampu menggerakkan dan memotivasi bawahan dalam rangka mencapai tugas yang
diemban di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan baik di tingkat Pusat,
Wilayah maupun Daerah. Pemimpin pada jajaran Pemasyarakatan harus mampu
mengemban perannya sebagai mediator, pembina bawahan, negosiator, juru bicara,
diseminasi informasi, dan pengambil keputusan.
Namum
demikian peranan tersebut belum mampu diwujudkan oleh pemimpin di jajaran
Pemasyarakatan pada semua tingkatan baik di pusat maupun daerah. Belum
terwujudnya peranan pemimpin di jajaran pemasyarakatan tersebut disebabkan
karena masih rendahnya kompetensi, kinerja dan visi serta misi sebagai
pimpinan.
2. ASPEK
KELEMBAGAAN
A. Struktur
Organisasi.
1). Struktur Organisasi Pemasyarakatan dalam Hubungannya dengan Perangkat
Organisasi Lainnya di Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam garis birokrasi struktural
Kementerian Hukum dan HAM, Kepala UPT Pas secara administratif bertanggung
jawab kepada Kepala Kanwil, sementara Kepala Kanwil bertanggung jawab langsung
kepada Menteri. Sistem ini disebut dengan sistem integrated. Posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada di bawah organisasi
kementerian dan bertanggung jawab kepada Menteri. Sedangkan Kepala Divisi Pas
bertanggung jawab kepada Kepala Kanwil. Tidak ada garis struktural secara
langsung antara Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan dengan Kepala Divisi
Pemasyarakatan dan Kepala UPT Pas. Hubungan antara ketiganya hanya bersifat
teknis fungsional.
Pola ini memperlihatkan dualisme
tata hubungan dalam tatanan struktural dan teknis organisasi. Pola ini menjadi
faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam kinerja Sistem Pemasyarakatan,
karena tidak adanya kesatuan kerja yang baik meskipun sistem tersebut dikatakan
integrated.
Dengan sistem integrated, bidang-bidang yang
memainkan peran administratif-fasilitatif lebih dominan ketimbang bidang-bidang
yang memainkan peran teknis-substantif.
2). Organisasi
Dan Tata Kerja dalam Melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsi.
a). Tujuan Organisasi.
Kesenjangan dalam mengartikulasikan tujuan organisasi
pemasyarakatan baik di tingkat pusat, wilayah maupun di tingkat UPT,
mengakibatkan tidak sejalannya program kerja dengan visi dan misi organisasi
pemasyarakatan. Sebagai contoh : di
beberapa unit pelaksana teknis, tujuan organisasi pemasyarakatan bisa
dijalankan dengan sangat baik, namun tidak sedikit visi dan misi serta tujuan
organisasi tersebut di tempat lain terlihat sangat kurang.
b). Ketidaksesuaian Tipe Organisasi dan Struktur dengan
Kebutuhan serta Efektifitas Organisasi.
-
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan).
Pola struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan disusun menggunakan pendekatan proses, dan kurang
konsisten dengan pola yang dirancang dalam organisasi Pemasyarakatan (quasi process).
Keberadaan Direktorat Bina Khusus Narkotika
menunjukkan bahwa pola yang disusun tidak lagi menggunakan pendekatan proses
tetapi pendekatan bidang. Pada sisi
lain, tugas dan fungsi yang diemban oleh Direktorat ini tidak jauh berbeda
dengan Direktorat Bina Perawatan, sehingga menjadi kurang efektif dan cenderung
tumpang tindih.
Kelemahan lainnya adalah kurang terakomodasinya
bidang-bidang teknis seperti Bapas dan Rupbasan, sehingga berimbas pada kurang
optimalnya dukungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terhadap pelaksanaan
tugas dan fungsi kedua bidang tersebut.
Permasalahan lain yang cukup penting adalah kedudukan,
peran dan fungsi Hubungan Masyarakat (Humas).
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan seiring dengan keterbukaan informasi
sebagai bagian dari pemenuhan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance) harus mendasarkan pada prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas.
Minimnya upaya untuk mengembangkan informasi publik
terhadap pemberitaan negatif, dan pencitraan publik terhadap kinerja organisasi
pemasyarakatan, dapat dikatakan sebagai gagalnya peran dan fungsi kehumasan
mengantisipasi hal tersebut.
Kegagalan ini disebabkan pula oleh belum terbangunnya
strategi media yang efektif yang dilakukan oleh Humas Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan terutama dalam merespon segala hal yang berkembang di masyarakat
dan di media yang terkait dengan pemasyarakatan.
- Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Perubahan nomenklatur Balai Bimbingan Kemasyarakatan
dan Pengentasan Anak (Bispa) menjadi
Balai Pemasyarakatan (Bapas), secara
signifikan telah menghilangkan peran “Pengentasan Anak” sehingga pelaksanaan
tugas dan fungsi yang berkaitan dengan pembinaan dan pembimbingan anak menjadi
kurang terselenggara dengan baik.
Pada saat yang sama, fokus tugas Bapas yang diemban
oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) belum optimal dilaksanakan, seperti:
melakukan penelitian kemasyarakatan, melaksanakan bimbingan, memberikan
pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat, mengkoordinasikan pekerja
sosial dan pekerja sukarela; dan melaksanakan pengawasan.
- Rumah Tahanan Negara (Rutan)
Salah
satu bentuk pelayanan tahanan Rutan adalah pemberian bantuan hukum atau memberi
kesempatan kepada tahanan untuk mendapatkan bantuan hukum dirasakan sangat
kurang, yaitu belum adanya standard operasional prosedur (SOP) bantuan hukum;
rendahnya kualitas sumber daya manusia dan belum adanya kualifikasi petugas
pada seksi bantuan hukum. Permasalahan selanjutnya adalah belum adanya
kerjasama antara Pemasyarakatan dengan asosiasi penasihat hukum (advokat,
seperti Peradi atau asosiasi lain) untuk terlibat secara cuma-cuma (pro bono) untuk membantu tahanan yang
tidak mampu (khususnya bagi yang diancam dengan hukuman 5 tahun ke atas); serta
alokasi anggaran untuk bantuan hukum saat ini berada di Kanwil, bukan pada
Rutan.
Kedudukan Kepala RUTAN (klas IIA dan IIB), dan Cabang
RUTAN hanya eselon IV cenderung menghambat hubungan dengan dalam tata pergaulan birokrasi pemerintahan
dan penegak hukum lainnya; dan secara psikologis berpengaruh terhadap terhadap
kinerja kepala Rutan/ Cabang Rutan.
Keberadaan Cabang Rutan Khusus pada Kejaksaan Agung,
Polda, dan Brigade Mobil sesuai Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 secara hierarki tidak berada di bawah organisasi
Rutan. Akibatnya peran koordinatif
antara Cabang Rutan khusus dengan RUTAN di daerah hukum yang sama kurang
berjalan dengan baik. Petugas
yang melaksanakan pelayanan tahanan di Cabang Rutan Khusus tersebut semuanya
berisi personil dari kesatuan masing-masing, bukan Petugas Pemasyarakatan.
-
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan)
Kedudukan Rupbasan dalam lingkup kewenangan
Kementerian Hukum dan HAM didasarkan atas pembagian kewenangan dan kontrol
lintas penegak hukum dalam bekerjanya sistem peradilan pidana serta dalam
konteks perlindungan hak asasi manusia.
Permasalahan Rupbasan antara lain :
· Belum adanya kelompok jabatan fungsional yang berperan
dalam kerangka pengelolaan dan perawatan barang sitaan.
· Kualitas petugas belum memenuhi kualifikasi yang
dibutuhkan terutama yang menyangkut pengujian dan penyimpanan serta perlakuan
terhadap barang sitaan dan rampasan.
· Organisasi dan tata kerja Rupbasan belum
dipisahkan dengan organisasi dan tata kerja Rutan, padahal tugas dan fungsinya
berbeda.
- Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas).
Dasar
klasifikasi Lapas dibentuk berdasarkan kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan
kerja, sehingga di seluruh Indonesia ada 3 kelas Lapas yakni Kelas I, Kelas IIA
dan Kelas IIB secara umum struktur organisasinya tidak ada yang berbeda. Di
setiap kelas Lapas tersebut, terdapat bidang atau seksi yang menyelenggarakan
kegiatan tata usaha, kegiatan pembinaan narapidana, penyelenggaraan kegiatan
kerja, administrasi keamanan dan tata tertib serta satuan pengamanan.
Pembidangan
tersebut kurang dapat mencerminkan karakter kebutuhan masing-masing jenis dalam
penyelenggaraan organisasi Lapas berdasarkan kualifikasi yang telah ditentukan.
Struktur organisasi berdasarkan kelas tersebut pada akhirnya digunakan pula
sebagai struktur dalam penyelenggaraan organisasi Lapas Anak, Wanita, Terbuka
dan Lapas Narkotika.
B. Tugas dan Fungsi.
B. Tugas dan Fungsi.
Formulasi tugas dan fungsi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
tercantum dalam ORTA Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Namun demikian
tugas dan fungsi tersebut belum terjabarkan dalam uraian tugas yang jelas dan
rinci. Sehingga aktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi cenderung tidak terpola,
reaktif terhadap kebutuhan yang muncul saat itu, dan sangat tergantung pada
kreatifitas pejabat yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada tugas
dan fungsi Divisi Pemasyarakatan.
Pada tataran UPT
Pemasyarakatan, tugas pokok dan fungsi telah dijabarkan dengan uraian tugas
pada tiap-tiap unit kerja. Namun demikian belum terimplementasikan dalam bentuk
SOP. Sehingga masalah yang muncul relatif sama dengan apa yang terjadi pada
tataran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yaitu pelaksanaan tugas dan fungsi
cenderung tidak terpola, reaktif terhadap kebutuhan yang muncul saat itu dan
sangat tergantung pada kreatifitas pejabat yang bersangkutan, serta timbul
perbedaan antara UPT yang satu dengan yang lain.
a. Service
Process.
Model
pelayanan yang selama ini dilakukan oleh unit-unit kerja pada organisasi Pemasyarakatan,
cenderung lebih besar pada penampilan birokratif, yaitu seolah-olah obyek
pelayanan yang membutuhkan. Sikap petugas seolah-olah berada pada pihak yang
dibutuhkan, dicari, dan diminta, serta yang memiliki kekuasaan. Kondisi ini
memberikan kecenderungan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pemasyarakatan.
b. Business
Process.
Untuk
mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemasyarakatan secara tepat, sangat
diperlukan instrumen yang bersifat teknis untuk menggambarkan bagaimana suatu
proses pekerjaan dilakukan. Instrumen tersebut dikenal dengan Standard
Operating Procedure (SOP).
Saat ini
SOP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan belum sepenuhnya menyentuh seluruh aspek dalam manajemen
Pemasyarakatan. SOP yang ada masih bersifat global, seperti sebuah pedoman umum
yang belum mencerminkan rincian pelaksanaan tugas tiap unit kerja terkecil dari
sebuah organisasi. Dokumen tersebut masih belum secara simpel dan komprehensif
menampilkan siapa dan apa yang harus dilakukan, pada tahap mana apa yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing unit kerja.
Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan perlu menata
ulang tatalaksana Pemasyarakatan agar sesuai dengan tujuan organisasi.
4. ASPEK
SUMBER DAYA MANUSIA
a. Perencanaan/Pengadaan Sumber Daya
Manusia.
Pada dasarnya pengadaan pegawai dimaksudkan untuk
mengisi formasi pada setiap unit kerja baik di tingkat pusat, wilayah maupun
UPT Pemasyarakatan, yang dilaksanakan
melalui beberapa tahapan mulai tahap perencanaan, pengumuman, pelamaran,
penyaringan, pengangkatan calon pegawai negeri sipil hingga diangkat menjadi
pegawai negeri sipil.
Permasalahan timbul apabila data formasi pegawai
Pemasyarakatan yang telah diusulkan berubah, sehingga tidak memenuhi kuantitas
dan kualitas yang dibutuhkan organisasi Pemasyarakatan. Permasalahan lainnya adalah bahwa rencana formasi pegawai
pemasyarakatan tidak menggunakan analisis kebutuhan yang tepat sesuai dengan
usulan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan.
b. Rekruitmen SDM.
Rekruitmen pegawai Pemasyarakatan saat ini secara
terpusat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM yang
pelaksanaanya dilakukan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM.
Selama ini penyelenggaraan rekruitmen petugas
Pemasyarakatan kurang memperhatikan karakteristik khusus yang harus dipenuhi,
yaitu yang berkenaan dengan fungsi yang
diemban di setiap UPT : fungsi pelayanan, pembimbingan, pengawasan dan
pendampingan, pembinaan, serta fungsi pengelolaan.
c. Penempatan SDM.
Penempatan
SDM pada unit-unit dan bidang kerja selama ini relatif tidak berdasarkan
assesment yang ketat. Prinsip the right man on the right job menjadi
terkesampingkan. Kondisi
ini terjadi karena, penempatan SDM tidak didukung oleh basic keahlian dan kompetensi.
Sistem
Diklat yang tidak didukung oleh kurikulum yang berbasis kebutuhan/keahlian juga
memberi kontribusi kepada sulitnya menempatkan orang berdasarkan kompetensi.
Pola senioritas dan unioritas juga turut berperan di dalamnya.
d. Pendidikan dan
Pelatihan
Pendidikan dan Pelatihan Petugas Pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum
dan HAM (BPSDM).
Struktur organisasi BPSDM dilakukan dengan pendekatan fungsi yang terbagi atas Pusat
Pengembangan Kepemimpinan dan Manajemen, Pusat Pengembangan Teknis dan Pusat
Pengembangan Fungsional dan HAM. Keseluruhan Pusat ini mengadakan pelatihan
untuk seluruh unit utama di Kementerian Hukum dan HAM termasuk Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan. Dengan
pendekatan fungsi ini kekhususan pengembangan SDM bidang Pemasyarakatan kurang
terlaksana dengan baik.
Perbaikan struktur penyelenggaraan Diklat juga harus
diimbangi dengan penyempurnaan sistem penyelenggaraannya, mulai dari aspek
seleksi peserta, perbaikan kurikulum, penyelenggara, pengajar/widyaiswara,
metode pengajaran, sarana dan prasarana dan aspek-aspek lain pada umumnya.
e. Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP)
Pembinaan AKIP secara teknis akademik dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pembinaan teknis operasional dan secara organisatoris
berada di bawah Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Hukum
dan HAM. Permasalahan yang perlu dicermati, yaitu :
· Kedudukan Direktur AKIP yang statusnya eselon III
langsung bertanggungjawab kepada Kepala Badan yang statusnya eselon I.
Dalam
struktur organisasi BPSDM ada struktur “Pusat” yang dijabat oleh yang berstatus
eselon II. Dalam konsepsi ideal apabila
penataan ‘Pusat” di BPSDM dilakukan dengan pendekatan per/bidang maka akan ada
yang disebut “Pusat Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pemasyarakatan”. Dengan sistem ini,
tanggungjawab Direktur AKIP langsung ditujukan kepada Kepala Pusat yang eselon
II dan masuk dalam satu genus yakni
Pemasyarakatan. Status kepegawaian di
Pusat Pendidikan dan Pengembangan SDM Pemasyarakatan tunduk pada status
Kepagawaian Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, tidak di bawah BPSDM, sedangkan dukungan fasilitatif dan
anggaran tetap dibawah BPSDM.
·
Keberadaan AKIP cenderung bias, apakah mengarah pada pendidikan
profesional ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia
Pemasyarakatan.
Berkenaan dengan permasalahan keberadaan AKIP, jika
menyelenggarakan pendidikan yang profesional maka segala bentuk intervensi birokrasi
kedinasan dikesampingkan. AKIP harus menjalankan seluruh kegiatan mulai dari
rekruitmen hingga pelaksanaan penyerahan kelulusan taruna secara mandiri.
Secara kelembagaan, sudah
saatnya AKIP dijadikan Sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan (seperti : IPDN pada
Kementerian Dalam Negeri atau STAN pada Kementerian Keuangan).
f. Pengembangan dan Pola Karir
Pembinaan karier dalam
penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan berdasarkan sistem
prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi
kerja. Pembinaan karier bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pola Karier yang menggambarkan
alur pengembangan karier yang menunjukan keterkaitan dan keserasian antara
Jabatan, Pangkat, Pendidikan, Pelatihan Jabatan, serta Masa Jabatan seorang PNS
sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu hingga pensiun.
Pasal 3 ayat (2) Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.KP.01.05 Tahun 1994 Tanggal 8
Pebruari 1994 tentang Pola Penjenjangan Karier Pejabat Pemasyarakatan
Kementerian Kehakiman menyebutkan Persyaratan dan unsur pendukung pada setiap
jenjang adalah : Kemampuan dan prestasi kerja, Pendidikan, kursus atau latihan;
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), Senioritas, Kesehatan, Penilaian
dan Pertimbangan khusus dari Menteri.
Meskipun aturan pola karier sudah sangat lengkap, kondisi
ketidaktertiban pelaksanaan pembinaan karier petugas Pemasyarakatan masih
terjadi, yaitu adanya indikasi kolusi/nepotisme dan upaya pendekatan dengan
pejabat di Kanwil, di Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dan di Sekjen agar mendapatkan jabatan yang diinginkan.
Kondisi ini berpengaruh terhadap etos dan semangat kerja pegawai lain yang
mengandalkan pada proses keterbukaan dan objektif serta akuntabilitas penilaian kinerja.
g. Jabatan
Fungsional Penegak Hukum bagi Petugas Pemasyarakatan
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa petugas pemasyarakatan merupakan
pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan
dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.
Sebagai penegak hukum, kedudukan petugas
pemasyarakatan sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi,
jaksa, dan hakim. Permasalahannya jabatan fungsional penegak hukum tersebut
hanya sebatas pengaturan tetapi tidak diimplementasikan oleh Kementerian Hukum
dan HAM.
Apabila mencermati Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
dan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
Sipil, petugas Pemasyarakatan sebetulnya telah memenuhi kualifikasi sebagai
pejabat fungsional.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya petugas
pemasyarakatan dapat dikategorikan dalan dua jabatan fungsional yakni jabatan
fungsional keahlian (yang menjalankan
fungsi Pelayanan Pembimbingan dan Pembinaan Pemasyarakatan, serta Perawatan)
dan jabatan fungsional ketrampilan (yang
menjalankan tugas dan fungsi Pengamanan dan Perawatan).
h. Pengawasan; Reward
and Punishment
Hal penting yang perlu ditekankan
terkait dengan tindakan disiplin dan tindakan hukuman administratif sebagai
salah satu hasil dari pengawasan melekat dan fungsional adalah mengenai tindak
lanjut pengawasan baik berupa saran dan perbaikan, apakah telah memadai dan
memiliki efek positif dalam rangka peningkatan kinerja aparat yang
bersangkutan, mengingat selama ini penyimpangan dan pelanggaran tetap saja
terjadi tanpa ada perubahan berarti ke arah yang lebih baik.
Permasalahan inilah yang
menjadi kecenderungan umum meskipun pada level regulasi sudah memberikan aturan
yang cukup memadai, namun pada level pelaksanaan masih menyisakan berbagai
kekurangan. Kecenderungan tersebut ditunjukkan dengan kurang terlihatnya
perubahan ke arah peningkatan kinerja yang cukup signifikan. Termasuk proses
keputusan penjatuhan tindakan hukuman disiplin dan administratif pada petugas
yang terkesan lamban, sehingga terjadi ketidakpastian hukum.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membangun sistem dan
menetapkan SOP pengawasan yang memuat indikator penilaian tentang perilaku dan
kode etik bagi para petugas pemasyarakatan termasuk mekanisme pemberian reward and punishment,
5.
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN UNTUK MENUNJANG TUGAS
POKOK DAN FUNGSI PEMASYARAKATAN
Proses
perencanaan dan penganggaran memainkan peranan yang sangat penting, apalagi
dengan dikembangkannya sistem perencanan dan penganggaran yang berbasis
program. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, semakin mengukuhkan perencanaan program dan
penganggaran sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dengan
perubahan yang menuntut penganggaran berbasis program, maka pengajuan anggaran
hingga pada unit pelaksana teknis mensyaratkan dokumen-dokumen Rencana
Strategis Kementerian dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga.
Dalam konteks
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai dokumen kebijakan
pembangunan jangka menengah hal yang dirasakan menonjol adalah tidak adanya
mata rantai yang mengikat di antara dokumen perencanaan pembangunan tingkat
Kementerian–Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan dokumen perencanaan pada
tataran UPT. Dalam konteks ini aspirasi
pemasyarakatan dirasakan belum terwakili secara memadai dalam Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian dan Perencanaan program kerja Kementerian.
Mekanisme penyampaian
Rencana Kerja dan Anggaran (RKAKL) yang diusulkan dari Kantor Wilayah dan UPT
Pemasyarakatan belum terintegrasi secara optimal. Rencana Kerja dan Anggaran
dari Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan disampaikan kepada Kantor Wilayah
Kementerian Kehakiman dan HAM yang kemudian dihimpun dan disampaikan kepada
Sekretaris Jenderal dan tembusannya seringkali tidak disampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Meskipun telah dikirimkan sebagai tembusan
ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sering tidak dilengkapi dengan data
pendukung yang memadai. Kondisi ini menyebabkan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan mengalami kesulitan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan
teknis substantif menyangkut skala prioritas usulan-usulan program yang diajukan
dan dapat berimplikasi terhadap penentuan pagu indikatif.
Hampir semua proses perencanaan dan
penganggaran yang dilaksanakan hanya didasarkan pada segi-segi pemenuhan
persyaratan administrasi dan formalisme semata. Peran Bagian Penyusunan Program
dan Laporan pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak maksimal untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan dan prioritas program dikarenakan kendala kurang
adanya dukungan dari tingkat Kantor Wilayah dan Unit Pelaksana Teknis yang
tidak memadai dalam memberikan laporan/ tembusan dokumen dan data pendukung.
Hambatan tersebut tentunya memiliki implikasi
pembahasan-pembahasan dalam penentuan skala prioritas program dan pagu
indikatif anggaran bagi Pemasyarakatan secara umum.
Pada tingkat wilayah, Kepala Divisi Pemasyarakatan
tidak memiliki peran dalam proses perencanaan dan penganggaran, padahal fungsi
Kepala Divisi Pemasyarakatan dalam menjalankan misi pemasyarakatan sangat
penting yakni melakukan pembinaan dan bimbingan teknis di bidang
Pemasyarakatan, pengkoordinasian pelaksanaan teknis di bidang Pemasyarakatan,
serta pengawasan dan pengendalian pelaksanaan teknis di bidang Pemasyarakatan.
Tentunya proses perencanaan dan penganggaran selama ini yang hanya terfokus ada
Kepala Divisi Admisnitrasi akan kurang optimal terkait dengan pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi Pemasyarakatan.
Pada tingkat pelaksanaan program
kerja, terdapat permasalahan yang terkait dengan tata laksana mengenai
pengadaan barang dan jasa di tingkat UPT.
6. ASPEK
POLA HUBUNGAN KERJA
a. Hubungan
dengan Lembaga Penegak Hukum Lain.
Fenomena over
kapasitas diberbagai UPT Pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara dan Lembaga
Pemasyarakatan), merupakan salah satu gejala nyata tidak adanya sinergitas
dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. Sebagai contoh adalah proses hukum
terhadap tindak pidana narkotika dan obat terlarang yang semakin menunjukkan
kecenderungan angka yang meningkat secara signifikan divonis pidana penjara.
Padahal perlu dipahami bahwa tidak semua terdakwa dalam perkara tindak pidana
narkotika dan obat terlarang harus dipidana dengan hukuman penjara. Pemilahan
terhadap pelaku tindak pidana dengan dasar pertimbangan tertentu (misalnya ;
anak-anak atau status sebagai pengguna narkotika dan obat terlarang) tidak dilakukan,
padahal pihak yang terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan
mengetahui permasalahan-permasalahan kelebihan kapasitas yang terdapat di
Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.
UPT Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang eksistensinya diatur dalam PP Nomor 27
tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
atas penyimpanaan benda sitaan dan rampasan. Dimana melalui Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06.Tahun 1983 telah dijabarkan mengani pengelolaan
benda sitaan dan rampasan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang
kemudian dijabarkan lagi dalam petunjuk Teknisnya melalui Surat Keputusan
Dirjen Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002. Dalam hal kerjasama antar negara, terkait
dengan fungsi UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui Undang-undang
Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dinyatakan
pada Pasal 45 ayat (1) sebagai lembaga yang berwenang untuk menyimpan barang,
benda, atau harta kekayaan sitaan hasil dari tindak pidana yang berdimensi
lintas negara. Dalam praktiknya banyak
ditemukan permasalahan bahwa penyimpanan benda sitaan dan rampasan dalam proses
pidana tidak diserahkan atau setidaknya dilaporkan/ informasikan kepada Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Kondisi
ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan dan lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum lainnya
khususnya ditingkat penyidikan dan penuntutan.
Mengenai kedudukan
Cabang Rumah Tahanan Negara di Kepolisian dan Kejaksaan saat ini masih kurang
menempatkan Pemasyarakatan pada porsi kedudukannya yang memiliki kewenangan
dalam pengawasan dan pembinaan. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pasal 18 ayat (2) menegaskan
bahwa semua Cabang Rumah Tahanan Negara adalah dibawah pengawasan dari Rumah
Tahanan Negara mengingat pembentukan Cabang Rumah Tahanan Negara dibentuk,
diangkat, dan diberhentikan oleh Menteri.
Kedepan dengan penambahan dari segi jumlah Rumah Tahanan Negara selain
diperlukan penguatan koordinasi dengan instansi Kepolisian dan Kejaksaan,
secara bertahap diharapkan keberadaan Cabang Rumah Tahanan Negara diluar
lingkungan Pemasyarakatan sudah tidak diperlukan lagi/ dihapuskan.
Pada tingkatan
UPT Lembaga Pemasyarakatan, kemacetan dalam pelaksanaan pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat
menunjukkan lemahnya koordinasi diantara Pemasyarakatan dengan Pengadilan. Padahal bagian tersebut membawa semangat baru
dalam konsep dan ruang operasionalisasi sistem peradilan pidana. Melalui
berbagai peraturan dan petunjuk pelaksanaan tentang fungsi Hakim Wasmat,
revitalisasi kelembagaan Hakim Pengawas dan Pengamat sangat penting untuk
menjadi agenda perbaikan dan pembaruan bekerjanya sistem peradilan pidana
terpadu.
Permasalahan
adalah pada aspek teknis administrasi (administrasi peradilan pidana) yang
diakibatkan adanya kekosongan maupun kekurangjelasan aturan dalam peraturan
perundang-undangan dapat mempengaruhi
tugas-tugas Pemasyarakatan, seperti pembinaan dan pembimbingan. Hal
tersebut dapat dipecahkan melalui kerjasama dan koordinasi seperti prosedural
menyangkut upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana (grasi) terkait
dengan pelaksanaan eksekusi mati.
a.
Antara Unit Pelaksana Teknis.
1 1). Rutan dengan Lapas
Pola
hubungan dan koordinasi antara Rutan dengan Lapas terdekat berkenaan dengan
penempatan dan mutasi tahanan yang telah mempunyai kekutan hukum tetap
(narapidana) ke Lapas belum terjalin dan terlaksana dengan baik sesuai
ketentuan yang berlaku.
2). Lapas Klas IIB dengan Lapas Klas
IIA atau Lapas Klas I
Pola hubungan dan koordinasi
antara Lapas Klas IIB dengan Lapas Klas IIA atau Lapas Klas I menyangkut
penampatan dan mutasi narapidana berdasarkan lama pidana yang dijalaninya belum
terlaksana dengan baik.
3). Bapas dengan Rutan dan Lapas
Belum
terlaksananya fungsi assistensi Pembimbing Kemasyarakatan Bapas guna mendukung
keberhasilan proses pembinaan WBP mulai
dari tahap awal (admisi
orientasi) sampai tahap akhir pembinaan. Peran Bapas selama ini dilakukan
secara pasif berdasarkan permintaan Lapas/Rutan untuk Pembutan Litmas
(PB,CMB,CMK, asimilasi, perubahan pidana, mutasi), mengikuti sidang TPP
Lapas/Rutan.
b. Antara
UPT dengan Kanwil (Kadivpas).
Keberadaan kadivpas (kanwil)
masih diposisikan hanya sebagai pengawas UPT, belum secara utuh ditempatkan
sesuai tupoksi yaitu peran pembinaan, pengawasan, pengendalian dan
pembimbingan. Fungsi pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pembimbingan
kadivpas belum didasarkan pada pola yang baku dalam bentuk SOP. Oleh karena
itu, tidak ada keseragaman tingkat dan pola hubungan antara UPT dengan Kadivpas
(kanwil) yang satu dengan yang lain.
c. Antara
Kadivpas dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Tidak adanya pemaparan program
teknis Renstra dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sehingga mempersulit
Kadivpas untuk melaksanakan kebijakan.
Kadivpas hanya melaporkan secara
berkala kegiatan pelaksanaan tupoksi UPT yang berada dalam pengawasan kadivpas
tersebut dengan seijin kakanwil.
Fungsi Kadivpas yang lebih
menonjol adalah memberikan arahan dan petunjuk kepada jajaran pemasyarakatan di
wilayahnya.
d. Antara UPT dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Tugas UPT Pemasyarakatan adalah
melaksanakan kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan membuat laporan
secara berkala melalui Kadivpas. Oleh karena tidak semua kebijakan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan tersosialisasi dan dipahami sepenuhnya oleh UPT
Pemasyarakatan, sehingga pelaksanaan tugas pada UPT Pemasyarakatan tidak
terselenggara dengan baik sesuai dengan tujuan dan sasaran. Apalagi indikator
kinerja sebagai tolok ukur keberhasilan belum tersusun secara baku.
e. Antara
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Setjen/Kementerian Kumham.
Tugas
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah melaksanakan kebijakan Setjen di
bidang fasilitatif. Mengenai proses perencanaan penganggaran dan perencanaan
SDM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuat usulan yang memuat kebutuhan
perencanaan anggaran dan perencanaan SDM berdasarkan analisis kebutuhan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Namun untuk pengambilan keputusan tentang
kebutuhan dimaksud ditetapkan oleh Setjen. Hal ini menjadi permasalahan dalam
hal akomodasi kebutuhan.
7. ASPEK
BUDAYA ORGANISASI
a. Aspek Kinerja
Organisasi
Secara
organisatoris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada di bawah Kementerian
Hukum dan HAM yang menganut Pendekatan Integrated System, hal ini tidak dapat
mendukung kinerja organisasi. Ada dua hal penting yaitu :
1) Capaian indikator kinerja yang tidak jelas
Apabila dilihat dari struktur organisasi sekarang, capaian indikator UPT
Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan bukan merupakan indikator kinerja
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Hal
ini disebabkan UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan berada di bawah
Kantor Wilayah yang bertanggungjawab kepada Sekjen. Namun jika ditinjau dari
aspek tupoksinya UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan seharusnya
merupakan pencerminan dari pada pelaksanaan tugas dan fungsi teknis Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan.
3) Garis komando yang tidak efektif.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
tidak mempunya garis komando (pembinaan, pengawasan, dan pengendalian)
secara langsung terhadap UPT Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan. Hal ini
disebabkan secara struktural, Divisi Pemasyarakatan dan UPT Pemasyarakatan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Sekjen melalui Kantor Wilayah.
b. Aspek
Kinerja Individu
Organisasi belum mempunyai
instrumen yang tepat dan terukur untuk menilai kinerja individu (Petugas)
Pemasyarakatan. Selama ini penilaian kinerja hanya didasarkan pada DP3 yang
indikatornya tidak jelas dan tidak terukur.Indikator yang ada pada DP3 masih
belum menyentuh kepada penilaian yang dibutuhkan terhadap kinerja individu. Hal
demikian menimbulkan tidak dapatnya mengukur kinerja individu yang digunakan
sebagai dasar untuk memberikan reward dan punisment.