Selasa, 08 Agustus 2023

URGENSITAS SOSOK PEMIMPIN IDEAL

 

URGENSITAS SOSOK PEMIMPIN IDEAL

I.    PENDAHULUAN

Manusia adalah sumber daya paling berharga dari suatu organisasi atau negara. Tanpa adanya manusia, organisasi bahkan suatu negara tidak akan ada karena manusia adalah penggerak mobilisasi dari suatu organisasi atau negara. Untuk mengendalikan arah dan tujuan dibutuhkan sosok pemimpin yang mempunyai integritas yang kuat. Yang mampu juga menjaga etika dalam perbuatan dan perkataanya baik dalam kehidupan berorganisasi maupun bermasyarakat. Mampu memahami dan mengimplementasikan nilai atau norma yang berlaku sesuai undang-undang dasar 1945 dan Pancasila.

 

Beberapa berita di akhir bulan Juli 2023 diantaranya penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap seorang pimpinan lembaga dan pelanggaran kode etik salah satu anggota DPRD pada saat rapat menjadi viral di media massa maupun media sosial. Hal ini menjadi sorotan karena sangat timpang sekali ekspektasi masyarakat terhadap pemimpin yang ideal dengan realitas yang terjadi. Permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat, seperti pelanggaran etika dan integritas lainnya yang melilbatkan pimpinan organisasi sampai pimpinan daerah atau kementerian dan lembaga dianggap menjadi indikator rendahnya etika dan integritas sosok pemimpin bangsa.  

 

Permasalahan yang dihadapi bangsa, mulai dari ekonomi, kesenjangan sosial, kesiapsiagaan terhadap bencana dan perubahan iklim sampai dengan stabilitas politik, hukum dan keamanan diindikasikan disebabkan karena pemimpin yang kurang memiliki etika dan integritas. Keputusan atau kebijakan yang diberikan cenderung bertentangan dengan norma yang berlaku serta pemahaman tentang pancasila. Perbuatan dan perilakunya tidak dapat menjadi panutan atau role model dimasyarakat, banyak melakukan perbuatan tercela, atau bertentangan dengan norma-norma dimasyarakat. Akibatnya masyarakat yang dipimpin tidak mempunyai kepercayaan terhadap pemimpinnya, yang selanjutnya menimbulkan kegaduhan atau konflik di masyarakat yang tidak mudah diselesaikan. Pemasalahan yang muncul dapat diakhiri jika pemimpin yang baru dapat mengemban atau menjaga kepercayaan masyarakat (rakyatnya). Caranya dengan memiliki dan menerapkan etika dan integritas dalam kepemimpinannya dan menjadikan pancasila sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan atau kebijakan.

 

II.   ANALISIS MASALAH DAN AKAR PERMASALAHAN

1.  Rendahnya Etika dan Integritas

Etika adalah suatu aturan yang berkaitan dengan sikap perilaku dan tindakan yang berlaku di masyarakat. Etika tumbuh dan berkembang di masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi suatu lingkungan  atau komunitas. Seseorang yang melanggar etika dianggap tidak patuh terhadap peraturan yang berlaku masyarakat. Orang tersebut akan cenderung dikucilkan, tidak dipercaya atau bahkan disingkirkan oleh masyarakat itu sendiri. Etika penting dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat, karena dianggap mampu beradaptasi terhadap peraturan yang berlaku di masyarakat tersebut.

 

Begitupun dengan integritas, yang menunjukan konsistensi ucapan dan perilaku dalam mematuhi peraturan yang berlaku. Orang atau pemimpin yang berintegritas selalu mematuhi peraturan yang berlaku, walaupun digoda dengan uang, kekuasaan, wanita, harta, keluarga, rayuan, harga diri dan seterusnya. Pemimpin berintegritas cenderung bertanggungjawab terhadap ucapan dan perilakunya, sehingga masyarakat sangat percaya terhadap setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya.

 

2.  Rendahnya Pemahaman Nilai Pancasila

Pemimpin yang ideal selain beretika dan berintegritas wajib juga memahami dan mengimplementasi setiap sila-sila Pancasila ;

a.  Sila pertama. Setiap pemimpin harus memiliki dasar agama yang kuat yang menjadikannya seorang yang religius. Agama mengajarkan kita tentang kebenaran dan tidak pernah menyuruh untuk berbuat negatif atau yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Seorang religius kepatuhannya mendasar dalam dirinya (pondasi yang kuat), sangat sulit terpapar godaan dunia (harta, uang, dan wanita). Selalu merasa setiap tindak tanduknya diawasi oleh tuhan, bukan orang atau alat. Selalu mensyukuri atas segela sesuatu yang diterima atau dimilikinya.

b.    Sila kedua. Seorang pemimpin mengakui dan memperlakukan setiap individu sesuai dengan harkat dan martabatnya tanpa membeda-bedakan latar belakang, baik itu agama, suku, ras, maupun jenis kelamin. Memperlakukan semua sama dimata hukum  dan selalu melindungi Hak Asasi Manusia.

c.    Sila ketiga. Pemimpin mampu menjadi pemersatu bangsa. Lebih mementingkan kepentingan umum dibandingan kepentingan pribadi atau golongan. Segala kebijakannya dapat bermanfaat bagi semua dan tidak menimbulkan gejolak dimasyarakat.

d.    Sila keempat. Pemimpin mampu mengakomodir seluruh keinginan atau kepentingan masyarakat untuk kepentingan bersama. Setiap keputusan atau kebijakan diambil dengan cara musyawarah. Setiap orang harus mematuhi hasil musyawarah. Seorang pemimpin yang diberikan kepercayaan harus mampu mewakili rakyatnya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

e.    Sila kelima.  Pemimpin harus bersikap adil kepada siapapun tampa terkecuali. Keadilan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

 

Seorang pemimpin yang kurang memahami dan tidak mengimplementasikan nilai pancasila cenderung bersikap masah bodoh, acuh bahkan tidak peduli terhadap kondisi sekitarnya.  Kebijakan atau keputusan yang dibuat bertentangan dengan kepentingan rakyat, cenderung atas dasar kepentingan pribadi dan golongan. Tidak takut berbuat dosa apalagi melanggar peraturan yang berlaku. Keputusannya dapat menimbulkan gejolak dan cenderung memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

  

III.        PERAN KEPIMIMPINAN

Pemimpin organisasi atau pemimpin bangsa memiliki kedudukan yang sama sangat vitalnya dalam menentukan arah dan tujuan organisasi atau bangsa. Tanpa adanya orang yang mengatur dan mengarahkan suatu organisasi niscaya organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya sesuai dengan visi dan misinya. Oleh sebab itu, diperlukan figur seorang pemimpin untuk dapat mengelola dan mengatur organisasi untuk mencapai tujuan-tujuannya.

 

Untuk memujudkan kepemimpinan yang ideal demi terwujudnya stabilitas ekonomi, politik, sosial dan hukum diperlukan sosok pemimpin bangsa yang beretika, integritas dan bekerja berlandaskan nilai-nilai pancasila. Mampu berperilaku adil, mementingkan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi, sebagai pemersatu bangsa dan selalu berlandaskan ketuhanan yang maha esa. Berkomitmen kuat dan konsisten dalam menegakkan keadilan di masyarakat serta mengambil keputusan berdasarkan musyawarah.

 

Pengawasan pemimpin serta pemberian reward dan punishment dalam suatu program penting juga dilakukan. Seorang atau kelompok yang melakukan pelanggaran hukum akan dikawal prosesnya untuk memastikan yang bersangkutan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Seorang pemimpin tidak melindungi atau bahkan membekengi kegiatan yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Memberikan bantuan sosial seperti, sandang, pangan bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan. Memberikan penghargaan bagi ASN, TNI Polri, atau masyarakat yang berjasa terhadap pembangunan bangsa.  Bersikap netral dalam politik dan aktif dalam penegakan hukum demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

 

Selain berorientasi bagi perbaikan diri sendiri, pemimpin yang ideal juga akan mengambil langkah untuk keberlanjutan kepemimpinan yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Kebijakan rekruitmen calon pemimpin organisasi juga penting, harus berdasarkan nilai-nilai pancasila. Calon pemimpin yang terseleksi dengan baik, sesuai dengan kompetensinya dan kemampuan emosionalnya akan memberikan hasil yang terbaik  untuk kemajuan organiasasi. Sebaliknya, calon pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan kompentensi, namun karena kepentingan kelompok atau perorangan cenderung bersikap dan berprilaku bertentangan dengan nilai atau norma yang ada.  

 

Sumber Referensi :

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/27/13033771/kepala-basarnas-diduga-akali-lelang-mahfud-makanya-ditangkap

https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6841971/cinta-mega-dipecat-dari-dprd-dki-jakarta-buntut-main-judi-slot-saat-rapat

 

ETIKA DAN INTEGRITAS KEPEMIMPINAN PANCASILA, OPINI WONG CILIK SAYANG UNTUK DIBUANG

 

ETIKA DAN INTEGRITAS KEPEMIMPINAN PANCASILA

 

I.       CONTOH IMPLEMENTASI ETIKA DAN INTEGRITAS KEPEMIMPINAN PANCASILA

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke-56 untuk perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN) pada Selasa (8/8/2023). Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengajak ASEAN untuk terus bergerak maju dalam menghadapi situasi geopolitik dunia yang semakin penuh tantangan. "Let us work together, to make ASEAN matters. Epicentrum of growth. Selamat ulang tahun ASEAN," ujar Jokowi dalam sambutannya di acara ASEAN Day sebagai peringatan ulang tahun ke-56 ASEAN yang digelar di Sekretariat ASEAN, Selasa (8/8/2023).

Langkah yang dilakukan oleh presiden RI menunjukan bahwa beliau memahami dan mampu mengimplementasikan nilai pancasila dalam kepemimpinannya. Membangun kerjasama antara para pemimpin organisasi, sampai dengan pemimpin bangsa atau negara baik secara nasional maupun internasional yang didasari rasa persaudaraan dan kegotongroyongan untuk membangun atau mencapai tujuan bersama demi kepentingan bangsa dan negaranya. Hal ini menujunkan implementasi dari kepemimpinan pancasila khususnya pada sila ketiga dan keempat.

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf atas berbagai persoalan, mulai dari skandal dugaan pungutan liar (pungli), mark up anggaran, hingga pencabulan oleh pegawai KPK. Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat dimintai tanggapan terkait berbagai korupsi hingga asusila yang terjadi di KPK dalam kurun 2019-2023.

Keputusan jajaran pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tidak menutupi persoalan di dalam tubuh organisasi yang dilakukan oleh oknum pegawai dan telah melakukan upaya penindakan yang dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, menunjukan bahwa gaya kepemimpinan dalam organisasi tersebut berintegritas. Hal ini berarti bahwa pimpinan KPK mampu melakukan penegakan kode etik tanpa berpihak pada kepentingan pribadi atau kelompok.

Jakarta, Detik.com - KPK mengakui ada kekeliruan terkait proses hukum dugaan korupsi Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfian (HA) dan Korsmin Kabasarnas RI Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC). KPK pun menyampaikan permohonan maaf.

Mengakui atas kekeliruan dan meminta maaf adalah salah upaya untuk memperbaiki ke situasi atau kondisi semula akibat adanya kesalahan yang telah dilakukan dibelumnya. Hal merupakan norma atau aturan yang berlaku di masyarakat khususnya bangsa timur, salah satunya bangsa Indonesia. KPK menyadari penetapan pimpinan Basarnas sebagai tersangka adalah suatu kesalahan, karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permintaan maaf adalah langkah awal untuk memperbaiki hubungan sekaligus menjunjung etika antara instansi/lembaga agar mampu tetap bersinergi atau bekerjasama mewujudkan supremasi hukum di indonesia.

 

II.      HAMBATAN PENEGAKAN ETIKA DAN INTEGRITAS DI TEMPAT KERJA.

Etika dan integritas kepemimpinan pancasila harus kita implementasikan di lingkungan sekitar kita maupun di lingkungan kerja. Di lingkungan sekitar kita pribadi secara individu maupun sebagai kepala rumah tangga atau yang dituakan dalam keluarga. Di lingkungan kerja baik sebagai karyawan atau staf maupun sebagai seorang pimpinan atau manajer. Untuk mengimplementasinya, pada realitanya kita selalu dihadapkan pada beberapa kendala atau hambatan diantaranya :  

1.    Benturan/konflik kepentingan

Benturan kepentingan biasa terjadi disekitar kita, semuanya tergantung diri kita pribadi dalam mengontrol atau menahan dampaknya bagi organisasi atau masyarakat. Kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi atau kelompok. Butuh kematangan mental dan pemahaman dasar untuk mengendalikan laju benturan kepentingan. Benturan kepentingan biasa terjadi mulai dari tingkat staf sampai pimpinan organisasi. Penyalahgunaan kewenangan merupakan salah satu akibat dari benturan kepentingan. Penyalahgunaan kewenangan menyebabkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN ini mengakibatkan kepercayaan stakeholder atau masyarakat terhadap organisasi menurun drastis, akhirnya selanjutnya organisasi susah mencapai target dan gatal mencapai tujuannya.     

 

2.    Komunikasi Efektif

Komunikasi efektif adalah skill atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok untuk menyebarkan informasi dan mampu diterima dengan baik oleh penerima informasi sehingga pemberi dan penerima informasi memiliki pemahaman informasi yang sama. Komunikasi adalah ujung tombak di lapangan. Kadang kala kita menyepelekan faktor komunikasi tersebut padahal besarnya informasi program yang akan dijalankan berbanding sama dengan besarnya atau pentingnya komunikasi efektif yang harus dilakukan. Tanpa adanya komunikasi yang efektif maka akan terjadi salah persepsi yang mengakibatkan benturan dan menghambat kinerja organisasi secara keseluruhan.  

 

3.    Ego sektoral

Ego sektoral muncul karena adanya rasa/ego untuk kesetiaan/kebanggaan yang berlebihan terhadap suatu organisasi yang menaunginya tanpa mentolerir kepentingan organisasi yang lain dan tujuan sebenarnya organisasi. Ego sektoral kadang muncul di internal organisasi maupun lingkungan eksternal. Antara instansi/lembaga, antara divisi, antara bidang, antara subbidang dan seterusnya sampai yang paling kecil yaitu ego pribadinya pegawai/staf masing-masing.  Ego sektoral mungkin juga dapat disebabkan adanya kedangkalan dalam mengartikan makna tugas dan fungsi organisasi.Banyaknya prosedur-prosedur yang harus dilalui yang sebenarnya tidak begitu penting/dapat dihiraukan yang cenderung memperlambat atau menghambat capaian suatu target kinerja yang sudah disusun atau direncanakan. Ego sektoral selalu menjadi kambing hitam susahnya melakukan kerjasama atau sinergitas antara organisasi  khususnya di dalam birokrasi pemerintahan. Akibatnya menghasilkan kinerja organisasi cenderung burung, terkesan kurang koordinasi dan tidak memuaskan kebutuhan masyarakat.

 

4.    Budaya

Kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus di suatu wilayah menimbulkan budaya di wilayah tersebut. Begitupun dengan prilaku yang biasa kita kerjakan, yang dulunya sesuatu yang biasa saja, saat ini sebagian masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang dilarang. Contohnya kebiasaan memberikan sesuatu seperti barang sebagai ucapan terima kasih atas perbuatan atau kebaikan yang diberikan. Budaya bisa dianggap menguntungkan jika masih berlaku seperti budaya gotong royong, rasa malu, dan seterusnya, namun budaya juga bisa dianggap hambatan atau penghalang jika sudah tidak sesuai lagi dengan norma-norma yang berlaku.

 

III.    STRATEGI MENGATASI HAMBATAN

Beberapa hambatan yang disebutkan sebelumnya membutuhkan strategi untuk menyelesaikannya atau hanya sekedar mengurangi resiko kegagalan dari program yang ingin kita jalankan. Hambatan-hambatan tersebut harus mendapatkan perhatian dengan melakukan pemetaan kemungkinan yang terjadi atau mitigasi resiko berikut dengan tindaklanjutnya.

Pertama, revolusi mental, adalah suatu upaya membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bentuk-bentuk kegiatannya yaitu mulai dari ceramah rohani atau internalisasi kedisiplinan, rasa malu, dan gotong royong sesuai nilai-nilai agama dan pancasila sampai dengan peningkatan kapasitas pegawai mulai dari pelaksana sampai pengambil kebijakan. Pemberian reward dan punisment yang selayaknya kepada seluruh pegawai tanpa terkecuali, non diskriminasi dapat memperbaiki mindset dan kepercayaan pegawai  

Kedua, koordinasi dan kolaborasi antara organisasi. Ego antara instansi atau organisasi harus diakhiri, dimulai dengan niat mengawali memulai silaturami atau hubungan antar pihak. Keharusan untuk mendengarkan keluhan-keluhan yang muncul, harapan yang diinginkan dilakukan pihak lainnya, dan mencari jalan tengah dari permasalahan yang muncul dari kedua belah pihak, dapat menjadi langkah awal dari sinergitas antara organisasi yang berkepentingan. Rutinnya kolaborasi atau kerjasama antara pihak berkepentingan dalam suatu kegiatan baik informal maupun formal dapat meningkatkan kepercayaan dan sinergitas antara mereka.

Ketiga, peningkatan kompetensi pegawai. Pegawai adalah aset yang berharga dalam suatu organisasi, kinerja pegawai menentukan kinerja organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu kompetensi pegawai harus selalu ditingkatkan atau dikembangkan. Peningkatan kompetensi pegawai bisa dilakukan dalam bentuk, beasiswa pendidikan, pelatihan, diklat konvensional/elearning, sampai dengan coaching dan mentoring. Bentuk peningkatan kompetensi pegawai dalam bentuk akademik sampai dengan kemampuan komunikasi yang efektif.

Keempat atau yang terakhir, yaitu kesepakatan atau komitmen bersama. Melakukan perubahan seperti penerapan program atau nilai-nilai baru dalam suatu lingkungan kerja atau wilayah membutuhkan perencanaan yang baik, khususnya yang melibatkan organiasasi yang mempunyai keberagaman budaya. Salah satu langkah awal yang harus dilakukan yaitu melakukan kesepakatan atau komitmen bersama. Kesepakatan ini dibuat berdasarkan kesadaran semua pihak untuk mematuhi dan mengimplementasikan atau melakukannya dalam kehidupan kita baik dilingkungan pribadi sampai dengan lingkungan kerja. Perilaku yang muncul sesuai kesepatan tersebut selanjutnya akan menjadi budaya baru yang dapat mendukung kinerja organisasi secara keseluruhan.

 

Sumber referensi :

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/08/12063641/jokowi-selamat-ulang-tahun-asean-mari-bekerja-sama-buat-asean-jadi

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/13/19235481/kpk-minta-maaf-karena-kebobolan-korupsi-terjadi-di-lembaga-sendiri

https://news.detik.com/berita/d-6846691/kpk-minta-maaf-ke-tni-karena-khilaf-di-kasus-ott-kabasarnas

https://www.forestdigest.com/detail/1555/apa-itu-ego-sektoral

Selasa, 28 Agustus 2018

PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI (IT) DALAM MENDUKUNG TUGAS DAN FUNGSI PEMASYARAKATAN DI SULAWESI BARAT



Pemasyarakatan adalalah sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Divisi Pemasyarakatan merupakan implementasi pelaksanan pemasyarakatan tingkat Wilayah (kordinator) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Balai Pemasyarakatan (Bapas) di tingkat daerah.

Salah satu permasalahan abadi pemasyarakatan di Indonesia adalah OVERCAPASITY. Artinya Jumlah penghuni Lapas melebihi dari daya tampung yang dimiliki. Hal ini menjadi penyebab mendasar, sering terjadinya permasalah gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi Lapas-lapas di Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM yang berwenang melakukan pengelolaan Pemasyarakatan di Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Tingkat Eselon I) telah melakukan perubahan-perubahan pengelolaan Lapas, dengan mengefektifkan/menyelaraskan Teknologi Informasi (IT) di setiap sudut Bidang tugas dan fungsi pemasyarakatan.

Aktualisasi penggunaan Teknologi Informasi (IT) di bidang Teknis Pemasyarakatan saat ini dapat dilihat pada penggunaan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP). Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) adalah Mekanisme Pelaporan dan Konsolidasi Pengelolaan Data Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), yang berfungsi sebagai alat bantu kerja sesuai kebutuhan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Divisi Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Sistem Database Pemasyarakatan sesuai dengan bidang tugas, saat ini memiliki beberapa fitur itur yang berkaitan dengan layanan pemasyarakatan seperti Manajemen Registrasi, Fitur Integrasi, Fitur Keamanan dan Fitur Perawatan.
  • Fitur Manajemen Registrasi adalah fitur yang didalamnya mengakomodir pelaksanaan pencatatan data Registrasi Tahanan dan Narapidana mulai di masuk sampai keluar.
  • Fitur Integrasi adalah fitur yang didalamnya mengakomodir pelaksanaan pengusulan Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas secara online.
  • Fitur Keamanan adalah fitur yang didalamnya mengakomodir pengelolaan keamanan, seperti penempatan blok Narapidana Maksimum/Minimum security
  • Fitur Perawatan adalah fitur yang didalamnya mengkomodir pengelolaan perawatan kesehatan  Narapidana dan Tahanan selama menjalani pidana di Lapas.

Divisi Pemasyarakatan Sulawesi Barat selaku perwakilan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Sulawesi Barat telah menggunakan Sistem Database Pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan. Sistem Database Pemasyarakatan Wilayah di Divisi Pemasyarakatan berfungsi untuk mengawasi manajeman Pengelolaan Lapas di Daerah. Melalui SDP Wilayah Ini Divisi Pemasyarakatan bisa mendapatkan laporan dari Lapas yang cepat dan akuntabel.

Penggunaan SDP di Lapas, meliputi Pencatatan Registrasi Penghuni (WBP), Pemenuhan Hak-hak Narapidana, perawatan dan keamanan. Salah satu pemenuhahan hak-hak berbasis online yang sudah dilaksanakan di Lapas di Sulawesi Barat adalah pelayanan layanan kunjungan berbasis IT, Pemberian PB Online dan Remisi Online.

Dalam penggunaan Teknologi Informasi dalam tugas dan fungsi pemasyarakatan di Sulawesi Barat juga mendapatkan beberapa kendala-kendala, antara lain :
  1. Kurangnya Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) Petugas di Daerah. Penggunaan IT dalam pelaksanaannya membutuhkan SDM yang mumpuni terutama dalam hal operasi dan pemeliharaan.
  2. Kurangnya Sarana dan Prasarana IT. Dalam 2 tahun terakhir ini Lapas-Lapas di Sulawesi Barat telah mendapatkan drop Sarana Prasarana IT dari pusat, namun peralatan tersebut banyak digunakan untuk bidang lain diluar SDP, seperti Kepegawaian dan Keuangan karena mereka juga kurang (tidak ada).
  3. Komitmen dan Integritas Petugas dalam mendukung pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pemasyarakatan berbasis IT.
  4. Kondisi Geografis Lapas yang jauh dari jangkauan Jaringan Internet dan Telepon.


Penggunaan Teknologi informasi dalam setiap lini tugas organisasi atau instansi memang sangat penting dalam menghadapi  persaingan global abad 21. Perlunya komitmen kuat dan anggaran cukup dalam prosesnya. Tanpa adanya komitmen yang kuat segala usaha yang dirintis akan terbang digerus oleh waktu. Anggaran yang cukup juga berperan penting, namun juga harus transparan, akuntabel dan tepat sasaran dalam realisasinya. Diharapkan melalui pendampingan Teknologi Informasi dalam setiap lini teknis pemasyarakatan dapat membantu tugas dan fungsi pemasyarakatan dalam menghadapi tantangan dari luar dan dalam, maupun menyelesaikan permasalah yang sudah ada dan yang akan datang.

JAYALAH MERAH PUTIH, JAYALAH INDONESIAKU

  

Jumat, 22 November 2013

KAPAN PUTUSAN PENGADILAN DINYATAKAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP ?

 


"Putusan Pengadilan Telah Berkekuatan Hukum Tetap"

Sepenggal kalimat diatas terlihat simpel namun kadang-kadang membuat banyak penafsiran di antara beberapa akademisi, praktisi hukum, pakar hukum maupun pengamat hukum . Akibat dari banyaknya penafsiran tersebut maka salah satu dari visi pemerintah dibidang hukum yaitu "Masyarakat Memperoleh Kepastian Hukum" menjadi kabur. Baru-baru ini telah muncul suatu regulasi baru yang menggunakan sepenggal kalimat diatas sebagai inti / patokan. 

Untuk menyusutkan arti dari penafsiran kalimat diatas maka penulis mencoba mengangkat dasar hukum bersumber dari sebagian literatur yang penulis dapat. Jadi sebenarnya apa makna  dan kapan "Putusan Pengadilan Telah Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap" dan "Apakah suatu putusan yang dimintakan peninjauan kembali masih belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap?"...........................

Menurut perkaranya putusan pengadilan terbagi dua yatu 
  1. Putusan Perkara Pidana, dan 
  2. Putusan Perkara Perdata  


I.         Putusan Perkara Pidana
 
Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan  oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
  3. Putusan kasasi.
Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
  3. Putusan kasasi

Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut :

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). 

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):
  1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
  2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain ;
  3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

II.      Putusan Perkara Perdata

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali dalam perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Sayangnya, di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.

Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA).

Baik putusan perkara pidana maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan kembali keduanya diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA).

Jadi suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.

Demikian uraian dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
  1. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941 
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
  4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Rabu, 02 Oktober 2013

DAFTAR NOTARIS DI SULAWESI BARAT



DAFTAR NOTARIS DI SULAWESI BARAT

KABUPATEN   MAMUJU UTARA
1.     MARWANI, SH., M.Kn.
NO. SK :  AHU-0176. AH. 02.01-TAHUN 2010
KABUPATEN   MAMUJU
1.      SARAH ELITA TIMBANG, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 37. AH. 02.01-TAHUN 2009
2.     H. HAMZAH, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 0468. AH. 02.01-TAHUN 2008
3.     RASNY RESANYA ARIFUDDIN, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 0059. AH. 02.01-TAHUN 2010
4.     MINTA JAYA GINTING, SH.M.Kn.
NO. SK : AHU. 222. AH. 02.01-TAHUN 2009
5.     NURAENI, SH.M.Kn.
NO. SK : C.399.HT.03.01-TAHUN 2006
6.     DEWI ASTRIYANA UTINA, SH.M.Kn.
NO. SK : C.556.HT.03.01-TAHUN 2007
7.     ANDI HAERIL SUMANGE, SH.M.Kn.
NO. SK : C.772.HT.03.01-TAHUN 2004
8.     SUSI UA’ SARURAN, SH.
NO. SK : C.1202.HT.03.01-TAHUN 2002
9.     MAHMUD, SH.SS.,M.Kn.
NO. SK : AHU. 0187. AH. 02.01-TAHUN 2010
10.  IRAWATI, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.1022. AH. 02.01-TAHUN 2010
11.  LIONG, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.1055. AH. 02.01-TAHUN 2010
12.  AZIZAH TASMAN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.1085. AH. 02.01-TAHUN 2010
13.  ABU AFIEF WARIS, SH.,SpN.
NO. SK : C.397.HT.03.01-TAHUN 2007
14.  KHADIJAH CHANDRA MUSTAFA, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.228. AH. 02.01-TAHUN 2009
15.  ARLAN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.062. AH. 02.01-TAHUN 2012
16.   HAERUL, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.063. AH. 02.01-TAHUN 2012
17.   NOVELISA ZAINUDDIN CHAIRAN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.501. AH. 02.01-TAHUN 2011
18.  MUHAMMAD RIDWAN AMBARALA, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.473. AH. 02.01-TAHUN 2011
19.  DARMIAH HUSAIN, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.202. AH. 02.01-TAHUN 2011

KABUPATEN  MAJENE
1.   CICI HARFIAH, SH.,M.Kn.
NO. SK : C.190.HT.03.01-TAHUN 2007
2.   NURHIDAYAH, SH.
NO. SK : C.293.HT.03.01-TAHUN 2003

KABUPATEN  POLEWALI MANDAR
1.   SYARIEF RAHMAT TASMAN, SH.
NO. SK : C.591.HT.03.01-TAHUN 2004
2.   NUR MUKARRAMA, SH.,M.Kn.
NO. SK : AHU.391. AH. 02.01-TAHUN 2009
3.   DARUL ADAM, SH.
NO. SK : C.517.HT.03.01-TAHUN 2002
4.   NURRAHMAH TAHANUDDIN, SH.
NO. SK : C.1589.HT.03.01-TAHUN 2002
5.   TJIUNAR HAERUL EKKA, SH.
NO. SK : C.616.HT.03.01-TAHUN 2004
6.   HENDRA SAPUTRA SUDIN, SH.
NO. SK : AHU.360. AH. 02.01-TAHUN 2013
7.   HETRAMELDA, SH., M.Kn.
NO. SK : AHU.164. AH. 02.01-TAHUN 2013

KABUPATEN  MAMASA
1.       MIRA FABIOLA, SH., M.Kn.
NO. SK : AHU-0089.AH.02.01-TAHUN 2010

Rabu, 30 Januari 2013

PERBANDINGAN PEMBERIAN REMISI, ASIMILASI, CMK, CMB DAN PB BAGI NARAPIDANA KHUSUS SESUAI DENGAN PP NOMOR 32 TAHUN 1999, PP NOMOR 28 TAHUN 2006 DAN PP NOMOR 99 TAHUN 2012

Dengan alasan bahwa kejahatan yang dilakukannya merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat, dan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Pemerintah resmi memperketat pemberian hak remisi, asimilasi dan bebas bersyarat bagi narapidana (Napi) tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional lainnya.
Ketentuan yang memperketat pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat bagi Napi tindak pidana terorisme, korupsi, Narkoba (termasuk di dalamnya narkotika dan prekursor narkotika, dan psikotropika) kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisir lainnya itu tertuang dalam Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 November 2012 lalu.
PP No. 99/2012 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini, hanya merubah ketentuan Pasal 34 tentang tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi , Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan Pasal 43 tentang Pembebasan Bersyarat.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 beserta perbandingannya dengan Peraturan Sebelumnya, silakan diunduh di Perbandingan PP Nomor 32/1999, PP Nomor 28/2006 dan PP Nomor 99/2012